Giani ragu-ragu menekan bel yang terpasang di samping pintu berwarna putih. Ia memastikan kembali dirinya berada di alamat yang benar dengan mengecek buku catatannya.
Friedrichstraße Nr 7 Ravensburg
Alamatnya telah sesuai.
Setelah menunggu beberapa saat, pintu terbuka. Seorang perempuan paruh baya berambut pirang muncul dari balik pintu dengan roman muka datar. Mata birunya mengamati Giani yang berdiri canggung di dekat tangga sambil memilin-milin jilbabnya.
"Giani, oder?" tanya si ibu pemilik rumah.
"Ja," Jawab Giani singkat sambil berusaha tersenyum ramah.
"Herzlich willkommen!" Sambut tuan rumah mengajak Giani masuk ke dalam rumah besar itu.
Rumah berlantai dua didominasi oleh warna bata di bagian bawah dan putih di bagian atas. Satu pohon Ahorn dengan daun meranggas berdiri di tengah halaman yang tidak begitu luas. Tepat di bawahnya, terdapat bangku panjang berwarna coklat yang telah memudar dipenuhi daun-daun berguguran.
Giani memandang takjub bagian dalam rumah yang bersih dan tertata sempurna. Ia melangkah dengan pelan mengikuti tuan rumah yang menjelaskan ruangan demi ruangan.
"Giani, kamarmu ada di atas. Letakkan barangmu di sana, ayo sini kuantar." Ujar Ibu tadi, ternyata beliau cukup fasih berbahasa Indonesia.
Gelagapan ia menjawab karena pikirannya yang berkelana mengagumi keindahan rumah yang akan ia tempati ini, "Ba...baik, Bu," lalu mengikuti langkah tuan rumah menaiki tangga menuju kamar atap.
"Panggil saja saya Anna." ucapnya kepada Giani sambil terus menjejaki anak tangga.
"Baik, Bu Anna," ujar Giani mengikuti permintaan tuan rumah, tapi ia tambahkan sapaan Ibu depan nama beliau karena sungkan menyebut langsung namanya. Giani tumbuh dalam didikan keluarga bugis dengan adat yang cukup keras. Seseorang yang lebih muda tak boleh menyebut nama yang lebih tua kecuali menambahkan kata 'puang' di depan nama sebagai tanda penghormatan. Begitu ajaran yang mengakar dalam dirinya sehingga tidak mampu ia dengan serta merta langsung memanggil Anna.
"Nur Anna, ohne Ibu. Tak perlu pakai kata Ibu, okey?"
Beliau berhenti melangkah lalu melihat ke arah Giani yang berjarak beberapa anak tangga di bawahnya, tegas beliau ingin dipanggil dengan nama depan saja.
Giani mengangguk paham tak ingin terjebak dengan situasi canggung dalam momen pertamanya di rumah ini.
Orang Jerman memang terkenal dengan karakter yang tegas dan tidak suka berbasa-basi. Hal pertama yang dipelajari Giani di rumah itu.
Anna membuka pintu lalu mereka beriringan masuk ke dalam. Pandangan mata Giani menyapu isi kamar. Sebuah tempat tidur berukuran sedang dengan sprei motif bunga-bunga terpasang rapih, tak jauh dari situ terdapat sebuah lemari kayu besar. Pandangan mata Giani berhenti, ada yang mencuri perhatiannya. Sebuah foto berukuran besar dengan pigura kayu tergantung manis di salah satu sudut dinding. Terlihat dua perempuan saling berangkulan. Salah seorang diantaranya adalah Anna dan satu lagi sepertinya perempuan Jawa atau Bali karena ia mengenakan kebaya. Keduanya tersenyum ke arah kamera.
"Ah, itu sahabatku di Indonesia. Namanya Ayu Lestari."
Anna menjelaskan foto itu karena menyadari pandangan mata Giani lama tertahan di sana.
"kamu pernah tinggal di Indonesia?" tanya Giani masih penasaran dengan foto itu.
"Kurang lebih tiga tahun. Kelak akan saya ceritakan pengalamanku tinggal di Indonesia, tapi sekarang kamu harus menjemput Laura di sekolah." Ujar Anna santai. Giani tersentak. Tak ia sangka langsung diberikan tugas oleh Anna padahal badannya masih sangat pegal butuh istirahat.
"Sekolahnya tidak begitu jauh dari sini, nanti saya jelaskan rutenya. ayo, kita ke bawah!"Giani hanya mengangguk tanpa menjawab sambil mengikuti langkah Anna menuju ke ruang bawah. Perasaan dongkol tiba-tiba muncul dalam hatinya, namun ia tepis mengingat tugasnya ke Jerman memang sebagai Au-Pair bukan sebagai turis.
"saya sudah jelaskan rute ke sekolah Laura di sini, kamu tinggal mengikutinya saja," Ujar Anna sambil menyerahkan selembar kertas lalu meninggalkan Giani yang kebingungan dengan tugas pertamanya. Bagaimana ia mengenali Laura, Giani ingin bertanya, tapi Anna telah menghilang dibalik kamarnya.
Giani mencari akal. Diamati beberapa foto anak perempuan yang terpasang di dinding dekat tangga menuju kamar atap, tapi tak ada petunjuk yang mana Laura. Lagi lagi ia merasa dikerjai oleh keadaan. Bersungut-sungut ia keluar rumah dan membaca catatan yang diberikan oleh Anna.
Udara dingin membuat tugas pertama ini menjadi lebih berat. Giani terus melangkah mengikuti petunjuk yang tertera dalam kertas putih di tangannya sambil celingukan mencari tanda-tanda dimana letak sekolah Laura.
Tiba-tiba dari arah belakang...
"Kring...kring!"
Sebuah sepeda melaju kencang nyaris menabrak Giani. sontak ia kaget, nafasnya memburu antara kelelahan dan terkejut. Ia baru menyadari, ternyata sejak tadi memang melakukan kesalahan karena berjalan di atas jalur sepeda. Untung saja tidak celaka. Setelah agak tenang, perjalanannya ia lanjutkan.
Cukup jauh berjalan, akhirnya ia sampai di sebuah gedung yang didominasi jendela-jendela lebar.
Grundschule Mühlenberg.
"Ah, ini sekolahnya. Alhamdulillah" pekik Giani dalam hati karena berhasil menemukan sekolah Laura.
Sunyi.
Giani celingukan mencari seseorang, ia ingin bertanya. Tapi, setelah beberapa saat, sekolah itu tetap kosong tak ada seorang pun yang melintas.
"Sial, jangan-jangan sekolahnya sudah tutup," Ucap Giani dalam hati.
Lalu ia melangkah ke arah sebuah bangku tak jauh dari arena bermain. Ia mengistirahatkan betisnya yang sangat pegal sambil menunggu siapa tahu Laura tiba-tiba muncul. Udara dingin terus berhembus menusuk tulang. Tanda-tanda kemunculan seseorang juga nihil. Akhirnya ia putuskan untuk pulang ke rumah.
***
Giani berdiri di tepi jalan dengan pandangan nanar melihat ke arah rumah keluarga angkatnya. Musim dingin membuat malam lebih cepat tiba. Dari balik jendela, keluarga itu sedang bercengkerama sambil menikmati makan malam. Seorang gadis kecil duduk di samping Anna juga ikut menikmati makanannya sambil sesekali tertawa. Itukah Laura?
Kecewa dan sedih bermain dalam hatinya. Ia merasa dipermainkan oleh tugas pertamanya hari ini. Ia membayangkan tinggal dalam keluarga angkat yang menyenangkan, tapi kenyataannya berbeda. Air matanya menetes karena rasa kesal bercampur dengan rasa lelah berjalan kaki bolak-balik dari rumah ke sekolah Laura.Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Giani dan Archie
PertualanganMengapa harus merantau, bukankah tinggal bersama keluarga lebih mudah dan menyenangkan, semua hal terpenuhi dan tidak perlu kerja keras untuk mendapatkan sesuatu? Giani dan Archie justru merasa hidupnya terlalu nyaman dan mengambil langkah berani u...