Bagian 4, 1031

25 5 0
                                    

Musim gugur tiba, sudah lama aku menunggu waktu ketika dedaunan layu dan angin merayu. Bukan supaya aku bisa memandanginya bersama kekasih atau ibuku, bukan juga untuk menangis di bawahnya seperti putri yang patah hati. Tapi untuk membelahnya menjadi dua dengan bilah pedangku yang tajam. Seharusnya aku berlatih bersama ksatria atau pangeran lain, namun rasanya dedaunan lebih menantang karena aku bisa membelahnya tanpa timbul teriakan setelahnya.

"Selamat siang." Kaget aku dibuatnya. Maka kuhentikan permainan pedangku dan kutodongkan lelaki yang menyapa itu dengan pedang yang aku genggam. Lelaki itu nampak lebih tua dariku, entah siapa dirinya, mengganggu aku di tengah kesendirian, apa tak ada pelayan yang memberitahunya?

"Ah, maaf jika mengagetkan, saya tidak bermaksud demikian." Cara dia memanggil dirinya sendiri begitu sopan, ia tidak langsung loncat ke tengah medan dan menantang aku bermain pedang, kusimpulkan dia bukan pangeran.

"Siapa kau?" tanyaku sembari menyingkirkan pedang dari hadapannya. Kembali kusimpan pedang itu, dan sebisa mungkin kuabaikan hujan dedaunan kering yang menari di atasku.

"Ijinkan saya memperkenalkan diri, saya Kim Youngjo sanak saudara Pangeran Kim Namjoon yang baru tiba disini atas perintah Yang Mulia Raja." Setelah berkata demikian, laki-laki sopan itu segera membungkukkan badan, menunjukkan hormatnya padaku.

Keluarga Kim, keluarga istri kedua ayahanda, kebanyakan dari mereka berlagak sombong dan arogan. Seakan mereka sepenuhnya diterima di tanah Leómara, tidakkah mereka sadar bahwa mereka hanyalah pendatang? Aku cukup terkejut lelaki di hadapanku ini cukup sopan dan... tampan.

"Oh? Ternyata kau datang bersama rombongan itu. Lalu mengapa kau datang kemari dan bukannya bergabung bersama yang lain?"

"Di sana pasti hanya berisi perbincangan basa-basi, lebih baik saya berkeliling dan mencari tempat ini."

Jadi dia bukan penjilat? Baguslah, aku bisa gila jika berada dalam satu tempat bersama seorang penjilat berdarah biru bermuka tiga. Tapi aku belum bisa memastikan apakah dia teman atau lawan. Untuk sekarang akan kutunjukkan bahwa aku menyambut mereka, entah bagaimana ke depannya.

"Jika kau merupakan sanak saudaraku, tak usah bicara formal begitu," ucapku. Persetan dedaunan, aku bisa dianggap sinting jika dia tahu aku bermain bersama daun layu. Jadi kubalikkan badanku, kutodongkan pedang bersinar itu pada boneka manusia yang berdiri tak jauh dari pohon. Sepertinya laki-laki itu masih agak bingung dengan suasana baru, maka dari itu kuputuskan untuk mengajaknya berkawan,  "Apa kau akan memandangi aku di sana sampai petang ataukah kau akan bergabung denganku berduel pedang?"


☆★☆


Aku pikir semua insan bermarga Kim adalah bajingan, tapi lihat aku sekarang! Tertawa dan bercanda bersama seorang remaja dari keluarga bunda tiri gila. Kami cukup akrab, dan aku akui dia adalah lawan yang sepadan dalam duel pedang. Terlebih lagi, ia tak pernah membantah aku ketika mengolok-olok Namjoon di depannya. Seharusnya aku tidak menunjukkan sisi busukku pada siapapun, tapi dia selalu berhasil membuatku merasa nyaman.

"Dimanakah Youngjo si ahli pedang yang perkasa? Kupikir kau sendiri yang bilang bahwa aku tak akan pernah mengalahkanmu," candaku setelah menyaksikan kejatuhan lelaki itu di atas tanah. Selama ia meringis mendengarnya, aku berjongkok di atas perutnya, menahan dia di bawah agar bisa terus menertawakannya, tak lupa kuletakkan pedangku di atas rumput di samping badan Youngjo.

Merasa bangga karena dirinya kalah, tak henti kulepaskan suara tawa dan pandangku darinya. Tidak ada seorang pun di tempat ini, jadi aku bisa melakukan apapun yang aku mau tanpa harus memperhatikan tata krama seorang pangeran yang ditekankan pada seumur hidupku. Baru saja aku ingin bangkit berdiri dan menolongnya ketika ia tiba-tiba menarik pundakku, aku yang kehilangan keseimbangan akhirnya terjatuh tepat di atasnya.

Leómara dan MurkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang