13. Alasan

106 8 1
                                    

Meninggalkan atau bertahan adalah pilihan. Semua orang berhak menentukannya pilihannya sendiri.
***

Seseorang menggebrak meja dengan keras membuat Rendy, Figo, Rendra, dan Kevin yang tengah memakan sarapan tersentak kaget. Hal itu pun memancing semua orang untuk menatap sang pelaku.

Kevin yang telah mengetahui pelakunya hanya mendengus lalu kembali menatap ponselnya.

"Lo mau buat gue mati muda?" tanya Rendy sarkas, matanya melotot tidak terima.

"Niatnya sih gitu," jawab Ara santai sembari mengambil gelas berisi jus jeruk lantas menyeruputnya.

Rendy berdiri di depan tubuh Ara, kini matanya menatap serius membuat sekujur tubuh Ara merinding. "Kenapa gak lo bikin gue mati sekalian, hah?!" ucapnya dengan kedua tangan menggoncang bahu Ara.

"Jaga ucapan lo!" ketus Ara, kedua tangannya segera mendorong tubuh Rendy.

"Lo pikir dengan lo mati lo bahagia? Gak! Justru itu bakalan jadi penyesalan gue seumur hidup, keluarga lo, sama temen-temen lo! Ngomong kalo lagi ada masalah, selesein bareng-bareng jangan pendem sendiri!" Ara meluapkan segala emosi yang bercampur kekhawatiran.

Rendy menatap Ara dengan pandangan yang sulit diartikan. Perlahan kakinya kembali mendekat, "Ra ... cukup. Gue tadi cuma bercanda, gue gak ada maksud buat mau mengakhiri hidup gue. Gue udah cukup bahagia dengan mengenal lo, Rendra, Figo, sama Kevin, gue emang bodoh Ra, tapi gue gak sebodoh itu ninggalin keluarga, sama lo semua."

Ara menyimak semua kata demi kata yang diucapkan Rendy. Matanya kini berkaca-kaca, ia tidak bisa membayangkan jika harus kehilangan salah satu sahabatnya. "Lo pikir lucu bercanda kaya gitu?!" Meskipun telah ditahan, tapi air matanya tidak mau dan kini turun membasahi pipinya.

"Loh kok lo malah nangis?" tanya Rendy panik.

Figo menepuk pundak Rendy keras. "Jangan gitu lagi ngab," ujarnya lalu melangkah lagi untuk mendekat ke Ara.

"Udah, ya, jangan nangis lagi," ucap Figo pada Ara. Jemari Figo berada di kedua pipinya lantas kedua ibu jari Figo bergerak untuk mengusap air matanya.

Sejenak Ara terpaku, matanya terkunci untuk menatap kedua manik tajam milik Figo.

"Gue tau gue ganteng," ujarnya percaya diri.

Ara segera memutar bola matanya malas, ingin rasanya ia menimpuk wajah tampan Figo dengan panci gosong.

"Gile lu, muka pas-pas an aja belagu," sela Rendra. "Gue nih yang mukanya sebelas duabelas sama Cristiano Ronaldo aje diem."

"Ngomong lagi lu gua jejelin cabe sekebon," seru Figo tidak terima.

Ara mendengus pelan, dia lantas beranjak berdiri lalu keluar kelas tanpa memperdulikan teman-temannya.

"Woi, lu mau kemana?"

Ara melambaikan tangan, "cabut."

***

Sebenarnya Ara hendak menemui Velma--mantan Kevin--dia sengaja tidak mengatakan itu pada teman-temannya.

Ara memanggil siswi yang baru saja keluar dari kelas XII IPA 4 lalu menyuruhnya untuk memanggil Velma keluar.

Setelah mengucapkan terima kasih pada siswi itu Ara memilih duduk di bangku depan kelas.

"Kenapa, Ra?" tanya Velma berdiri di depannya.

Ara mendongak, "Mau bicara di sini atau di taman?"

"Di sini aja," jawab Velma sambil mendudukan diri di sebelah Ara, dengan jarak sejauh mungkin karena dalam hati ia masih sedikit kesal dengannya.

"Apa alasan lo mutusin Kevin?" tanyanya to the point.

Jujur saja Velma sudah menduga Ara akan menanyakan hal ini, hanya saja ia belum siap untuk menjelaskan alasannya.

"Gue rasa lo gak perlu tau," jawab Velma acuh.

"Kevin sahabat gue. Jadi gue perlu tau."

"Oh, iya gue lupa, lo kan di mana-mana jadi pemeran utama. Mau itu di kisah gue sama Kevin, atau pun kisah cinta temen-temen lo yang lain."

"Lo tau? Alasan mereka milih mundur itu apa?"

Ara hanya diam menatap mata Velma.

"Itu karena lo. Rendi, Rendra, Figo, bahkan Kevin mereka semua pasti selalu, selalu, dan selalu lebih mentingin lo daripada pacar mereka sendiri. Dan lo, dengan seenaknya menguasai mereka berempat dengan alesan mereka sahabat lo."

"Gue selama ini mungkin cuman bisa diem, mencoba memahami, tapi semakin lama gue gak bisa, Ra. Gue juga manusia biasa, kesabaran gue udah abis kemarin jadi buat apa gue pertahanin lagi?" ucap Velma, air matanya tanpa sadar telah terkumpul di pelupuk matanya.

Ara mendengus pelan. "Gue udah cukup denger alasan lo, gue pamit dulu," dia berdiri lalu kembali melangkahkan kakinya tanpa melihat Velma lebih dulu.

"Lo emang sejahat itu, Ra. Bahkan lk sama sekali gak minta maaf sama gue," lirih Velma dalam tangisnya.

Ara mendengarnya, tapi dia memilih untuk mempercepat langkahnya. Dia butuh kamar mandi, dengan tergesa ia masuk ke salah satu bilik kamar mandi.

***

Haii, aku kembali nulis cerita ini.










AREXATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang