2. Provokasi

13 1 0
                                    

Arga mengayuh sepeda sekuat tenaga. Dia harus bergegas jika tidak mau terlambat mengikuti upacara. Bisa runyam urusannya nanti. Bagi yang terlambat akan disuruh membentuk barisan sendiri dan nantinya berdiri di tengah lapangan hingga jam pelajaran pertama selesai. Sebenarnya hukuman seperti itu tidak masalah bagi Arga, toh dia sering mendapat latihan yang lebih keras dari Pak Agung, guru tapak sucinya. Namun, malunya itu yang tidak mampu dia tanggung. 

Acara nongkrong hingga tengah malam tadi berhasil mengangkat sedikit keresahannya. Dia bisa tidur pulas tanpa memikirkan apa pun. Usai ibu membangunkannya untuk salat Subuh, dia terlelap kembali di atas sajadah. Dia baru benar-benar siaga setelah sadar jika sekarang hari Senin.  

Arga mengembuskan napas begitu sepedanya melewati gerbang sekolah yang hampir ditutup satpam. Masih terengah-engah, dia terus berlari menuju lapangan di bagian tengah sekolah. 

“Woi, telat!” Riko menepuk Arga yang merangsek ke barisan paling belakang. Arga hanya meringis pada teman sekelasnya itu. Dia nyaris kehabisan napas karena detak jantungnya yang berpacu cepat.

“Naik sepeda lagi?” 

Arga mengangguk sekilas.

“Nggak berani naik motor?” 

Arga tidak menanggapi kalimat bernada ejekan itu. Pandangannya tertuju ke paskibra yang bersiap menjalankan tugas.

“Ssst …” Riko menyikut lengan Arga. “Udah kamu pikirin ajakan kami kemarin?”

Arga melirik sekilas cowok berambut jabrik dan berkulit gelap itu. Beberapa hari belakangan dia masih menimbang-menimbang ajakan Riko dan Damar, tetapi sampai saat ini dia belum mengambil keputusan.

Arga menggeleng hingga membuat Riko berdecak di sebelahnya. 

“Kenapa? Takut?” 

Sebenarnya Riko hendak mendesak temannya lagi, tetapi urung dilakukan lantaran beberapa guru memperhatikan barisan mereka. 

Selepas upacara dibubarkan, Damar yang menjadi pemimpin barisan menghampiri Riko dan Arga.

“Kamu nanti sore mau ikut, Ga?” Damar yang setinggi Arga merangkul pundaknya. 

“Belum tahu.” 

“Halah, cemen, tuh! Gitu aja takut!” 

Arga harus mengepalkan tangan agar tidak keterusan menggampar wajah Riko yang menyebalkan.  

“Diam, Rik! Jangan bawel! Arga lagi mikir.” 

“Tapi dia itu kebanyakan mikir, Mar, jadinya malah kayak cewek. Tukang galau.”

Arga tidak pernah merasa darahnya mendidih seperti ini. Dia paling tidak suka dianggap sebagai pengecut. Sejak bertahun-tahun silam, Bapak telah mendidiknya sebagai jagoan. 

Anak laki-laki pantang menangis. Dia teringat suara Bapak yang menggelegar seperti geledek saat dia tersedu karena jatuh dari sepeda, padahal waktu itu dia baru berlatih menaiki sepeda roda dua.

Anak laki-laki pantang penakut. Masih tajam di ingatan ketika Bapak menyuruhnya mengantar barang ke dusun sebelah dan dia menolaknya karena takut melewati kuburan. 

“Kalau kamu masih penakut begini, aku suruh kamu menginap di kuburan semalaman!”

Sejak malam itu, Arga bertekad tidak akan pernah takut pada apa pun.

***

Mereka bertiga beriringan masuk kelas. Suara cempreng Riko masih terus mengganggunya hingga mereka duduk di bangku masing-masing. Sedangkan Damar lebih memilih bungkam dan membiarkan Arga sibuk dengan pikirannya. 

The ChampionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang