3. Galau

8 1 0
                                    

"Berhenti di sini aja, Pak.”

Bapak terpaksa menepikan motor di depan sebuah warung makan. Sita langsung meloncat turun dari boncengan.

“Kamu mau jalan kaki dari sini, Sit? Masih agak jauh.”

Sita tidak memedulikan perkataan Bapak dan meraih tangan kanan yang kekar itu lalu menciumnya takzim.

“Nggak apa-apa, Pak. Itung-itung sambil olahraga. Pergi dulu ya, Pak.”

Pak Agung memperhatikan putri sulungnya itu melangkah menuju sekolah yang berjarak sekitar lima puluh meter lagi. Jalannya tampak sedikit kepayahan karena menahan beban tas ransel bunga-bunganya yang menggembung kelebihan beban. Seperti biasa, rambutnya dikuncir rapi di atas kepala.

Pak Agung menghela napas lalu melajukan motor berbalik arah untuk pulang. Semua ini akibat perjanjian kecil di antara mereka beberapa minggu lalu. Pihak yayasan SMA Sinar Bangsa menawari Pak Agung untuk mendaftarkan putrinya bersekolah di sana. Kesempatan itu diberikan untuk para staf pengajar dan karyawan di sekolah itu, termasuk Pak Agung yang menjadi pengajar ekstrakurikuler silat. Tanpa berpikir panjang, Pak Agung pun langsung menerima tawaran itu. Apalagi dia mendapat keringanan bebas uang gedung dan potongan SPP sebesar lima puluh persen.

Namun, rupanya tindakannya cukup gegabah karena sebelumnya dia lalai mendiskusikannya dengan Sita. Putrinya itu sudah punya rencana sendiri. Dia ingin mendaftar di SMA yang sama dengan Nidya ataupun Arga. Alhasil putrinya sempat tidak terima dan merajuk selama berhari-hari. Dia beranggapan bahwa sungguh memalukan jika teman-temannya mengetahui dia bisa masuk ke SMA itu lantaran sebagai putri dari pengajar ekstrakurikuler.

Pak Agung terpaksa menyetujui sebuah kesepakatan bahwa mereka akan merahasiakan siapa Sita sebenarnya, termasuk mengantar jemputnya di luar lingkungan sekolah.

Sejak masuk SMA Sinar Bangsa, kepercayaan diri Sita seperti menguap entah ke mana. Hal itu terjawab begitu mendekati gerbang sekolah. Deretan mobil mewah bergantian menepi untuk menurunkan para murid. Penampilan anak-anak Sinar Bangsa pun terlihat trendi dan modis. Sita melewati gerbang sekolah sembari terus menunduk. Mungkin di antara teman-temannya, hanya segelintir anak yang tidak memiliki mobil sepertinya. Dia menyeret langkahnya menuju gedung sekolah bertingkat dengan fasad yang indah.

“Sita!”

Langkah Sita terhenti ketika mendengar suara yang dikenalnya. Saat menoleh, dia melihat sosok gadis berkulit putih dan bertubuh semampai tengah berlari kecil ke arahnya. Rambut lurus panjangnya dibiarkan tergerai. Bibirnya dihiasi lipbalm yang sedikit glossy. Aroma bunga lembut yang pasti berasal dari parfum merek ternama terhidu saat gadis itu sudah berada di hadapannya. Dan kali ini, dia memakai lensa kontak berwarna biru, senada dengan tas yang dicangklongnya.

“Kamu udah bikin PR Bahasa Inggris belum, Sit?”

Sita mengangguk. Dia bisa menebak maksud pertanyaan Risa.

“Aku pinjam lagi, ya. Semalam ketiduran.”

Kedatangan mereka di sekolah masih terlalu pagi, sehingga Risa leluasa menyalin tugas. Mereka meneruskan langkah menuju kelas. Sita tidak kuasa menolak setiap kali Risa atau temannya yang lain menyontek tugasnya. Dia tahu diri jika di sekolah ini dirinya bukanlah siapa-siapa. Seringkali dia menghindar setiap kali teman-teman mengajaknya singgah ke kafe selepas pulang sekolah. Selain karena dompetnya yang terisi uang recehan, dia juga minder dengan penampilan yang pas-pasan.

Satu-satunya cara agar Sita bisa diterima di dalam lingkaran pertemanan di kelasnya adalah dengan membiarkan mereka menyontek tugas maupun jawaban ujian. Dia tahu hal itu sungguh tidak adil. Dia yang bersusah-payah tetapi teman-teman turut menikmati hasilnya dengan ongkang-ongkang kaki.

Yes! Selesai juga. Thanks, Sit, kamu emang bisa diandalkan.” Risa tersenyum hingga pipi semu merah jambu samar-samar terlihat. Sita mengangguk perlahan.

Risa menelengkan kepala seakan-akan sedang memindai setiap senti wajah bulat telur Sita.

“Sit, kamu itu sebenarnya manis, loh. Coba pakai make up dikit.”

Sita menggeleng-geleng jengah. Selama ini dia buta dengan dunia dandan. Satu-satunya make up yang dia miliki hanyalah bedak yang katanya bisa untuk remaja.

“Jadi cewek abege zaman sekarang itu jangan kudet, dong. Kita nggak boleh ketinggalan trend, Say.”

Sita hanya sanggup manggut-manggut menyimak kata-kata yang keluar dari bibir tipis Risa.

“Dandan dikit gitu, Non, biar wajahmu nggak pucat bin kumal.”

Risa masih belum berhenti mengoceh. Sita mendengarkan ucapan gadis bermata bulat itu tanpa berani menyelanya.

“Ubah dikit tampilanmu, Sit, biar nggak garing.”

Sita menyapukan pandangan pada Risa. Seragam dengan potongan hampir pas badan dengan tambahan aksesoris seperti jam tangan sporty dan gelang serta sneakers model terbaru. Dibandingkan dengan Risa, penampilannya jauh ketinggalan zaman. Seragam kedodoran, rambut dikucir rapi, dan sepatu kets dengan model biasa membuatnya seperti anak zaman dulu.

“Hai, pagi-pagi kalian udah serius banget! Ngobrolin apa, sih?” Seorang gadis setinggi Risa dengan rambut ikal sebahu dengan tampilan tidak kalah modis datang menyapa mereka. Dia meletakkan tasnya dan duduk di bangku belakang Risa dan Sita.

“Ini, nih, Put. Aku baru ngasih tahu Sita kalau dia itu harusnya pakai make up, nggak polosan gini.”

Putri menengok ke arah Sita lalu manggut-manggut.

“Bener. Kamu itu oke, tahu, cuma kelihatan jadul. Kalau kamu mau make over, bakal makin kece.”

“Tapi... aku nggak bisa dandan.” Sita tahu jika wajah sebagian besar siswi sekolah ini sudah ditempeli make up meskipun tidak kentara, alias make up no make up.

Risa dan Putri memang cewek yang mengagumkan, ditunjang wajah dan penampilan yang menarik, membuat banyak orang yang menjadi fans mereka. Bahkan beberapa kakak kelas dengan terang-terangan menyukai mereka.

“Ssst, dengerin.” Putri berbisik misterius sembari mencondongkan kepalanya ke arah Sita. “Kamu mau nggak kami ajarin jadi cewek gaul?”

Sita melongo sesaat lalu menunduk. Dia bimbang karena khawatir tidak bisa mengimbangi mereka berdua.

“Nanti sepulang sekolah ikut kami jalan-jalan, yuk. Ke mall aja, kok. Cuma sebentar.”

Sita pun mengangguk pasrah. Mungkin ini kesempatannya untuk memiliki sahabat di SMA. Sejak awal masuk sekolah ini, tidak ada seorang pun yang akrab dengannya. Bisa jadi orang lain menganggapnya cewek aneh.

Berkali-kali Sita berusaha keras untuk konsentrasi dengan pelajaran yang disampaikan para guru di depan kelas. Nyaris saja dia ketahuan tengah melamun ketika guru Bahasa Inggris melontarkan pertanyaan. Untung saja dia masih bisa menjawab pertanyaan dengan benar.

Sepulang sekolah, mereka berdua benar-benar mengajak Sita jalan-jalan. Gadis itu teringat pesan Bapak dan Ibu yang memintanya mengirim pesan jika pulang terlambat. Sita buru-buru menyalakan ponsel yang sejak tadi dimatikan lalu mengirim pesan WA pada Bapak. Setelah sejenak galau, dia pun terpaksa beralasan belajar kelompok di sekolah.

Terbersit perasaan getir di hati Sita. Baru kali ini dia mendustai dua orang yang sangat disayanginya itu. Seketika dia bermaksud membatalkan keikutsertaannya bersama Putri dan Risa, tetapi tatapan tajam mereka yang menunggu di ambang pintu kelas membuat nyalinya ciut. Bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya, Sita mengekor di belakang mereka menuju gerbang sekolah. Sopir Risa telah menunggu mereka di depan mobil sedan mewah berwarna metalik.

Sita memasuki sedan itu dengan perasaan yang campur aduk. Petualangannya dimulai sejak hari ini dan dia belum memiliki petunjuk tentang apa yang akan dihadapinya nanti.

The ChampionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang