4. Tersudut

3 1 0
                                    

Acara jalan-jalan sore ke salah satu mall yang cukup dekat dengan SMA Sinar Bangsa menjadi rutinitas baru bagi Sita. Di sana dia sekadar mengikuti Putri dan Risa ke mana pun mereka pergi. Sita hanya sanggup cuci mata dan memegang-megang barang yang menurutnya menarik. Jika harus membeli, dia mesti pikir-pikir lagi. Uang sakunya mana cukup untuk membeli barang-barang bermerek itu? Bila dipaksakan membeli, bisa-bisa uang sakunya untuk sebulan langsung ludes.

Selama ini, Putri dan Risa bergantian mentraktir Sita makan. Lama-kelamaan gadis itu pun canggung karena merasa hanyalah menjadi benalu untuk mereka.

“Put, aku nggak usah makan aja.” Kali ini Sita menolak saat Putri menawarinya makan di salah satu restoran cepat saji.

“Lho, nggak apa-apa aku bayarin. Kamu santai aja, Sit!”

“Eeng… aku nggak terlalu lapar, kok. Kalian aja, ya. Aku mampir ke toko buku dulu.”

Putri dan Sita sesaat saling berpandangan lalu akhirnya mereka mengangguk. Tanpa ditunda lagi, Sita berjalan menyusuri mall, melewati banyak toko dengan berbagai tampilan etalase yang mengundang calon pembeli. Meskipun matanya memandangi barang-barang yang ada dipajang, tetapi pikirannya terus hinggap pada saat mereka pulang sekolah tadi.

Di gerbang sekolah, mereka bertiga yang sedang bergegas menuju sedan milik Risa berpapasan dengan sosok kekar berjaket kulit hitam yang menunggang motor bebek model lama.

Tanpa melihat wajah di balik helm cakil hitam itu, Sita sudah sangat mengenalnya. Sita sempat tergeragap dan spontan menggeser tubuh untuk bersembunyi di balik punggung Risa dan Putri. Meskipun menunduk dalam-dalam, sekilas tadi Sita merasakan sepasang mata tengah menatapnya tajam.

“Eh, Girls, yang naik motor tadi bukannya guru ekskul silat, kan?” Suara Risa tiba-tiba memecah kesunyian ketika mereka telah duduk di jok sedan mewah itu. Sita pura-pura tidak peduli dan memilih membungkam mulut.

“Ih, sangar ya. Tampangnya kayak preman pengkolan.”

“Jangan-jangan dia dulunya memang preman. Moga-moga dia udah tobat.”

“Kamu tahu Ardan, kan? Mantan pacarku itu dulu pas kelas sepuluh juga ikutan ekskul silat, tapi pas naik kelas sebelas udah stop. Nggak tahan lagi saking galaknya itu guru.”

“Mending kita nggak berurusan sama bapak satu itu, deh.”

“Duh, amit-amit!”

Tawa Putri dan Risa pun berderai hingga tanpa sadar telinga Sita memanas. Mereka berdua belum mengerti jika dia putri kesayangan dari orang yang mereka gunjingkan.

Sita menarik napas panjang untuk menepis lintasan pikiran yang terus menghantui. Dia mengambil novel secara acak, membaca blurb yang ada di sampul belakang, lalu meletakkan kembali di rak. Begitu seterusnya hingga dia merasa pundaknya ditepuk dari belakang.

“Kamu, nih, ditelepon sejak tadi nggak diangkat-angkat.” Tampak Risa yang mengerucutkan bibir ketika Sita menoleh ke belakang.

“Oh, maaf.” Sita segera mengecek ponselnya yang ternyata masih dalam mode silent.

“Ayo, ah, jalan! Katanya kamu mau beli lipgloss.

Sita buru-buru mengangguk dan mengikuti langkah Risa dan Putri masuk ke toko pernak-pernik untuk cewek.

“Ini cakep, Sit. Transparan tapi bikin bibir kelihatan segar.” Putri menyodorkan sebuah lipgloss dengan kemasan berwarna merah muda.

Sita membuka tutup kemasan dan tercium aroma strawberi. Dia menutupnya kembali lalu melihat label harga yang tertempel. Tiga puluh ribu. Sita menelan ludah. Dia tidak membawa uang sebanyak itu.

The ChampionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang