6. Teman Maya

4 2 0
                                    

Nidya mendesah begitu sepedanya mendarat di rumah. Tampaknya dia harus mulai membiasakan diri dengan kesunyian yang ada di sana. Bangunan dengan pelataran yang cukup luas itu terlihat angkuh tanpa penghuni, apalagi terletak paling sudut di blok ini, berbatasan dengan area persawahan di kiri dan belakang.

Setelah melepas kepenatan sejenak, gadis itu pun mengirim pesan pada Sita.

“Sit, lagi ngapain?”

Kebiasaan berkunjung ke rumah sahabatnya itu sudah lama tidak lagi dilakukan. Kesibukan mereka dengan kegiatan sekolah masing-masing sungguh menyita waktu dan pikiran, hingga pada akhirnya Nidya pun memilih untuk memulihkan tenaga di rumah.

Namun, hari ini berbeda. Hati Nidya kosong dan sepi. Dinding-dinding rumah ini terasa mengimpitnya hingga sesak. Ibu belum pulang kerja, sementara ayah belum juga kembali selepas pertikaian hebat yang lalu.

Nidya mengecek pesan WA-nya yang belum juga berbalas. Dia teringat jika besok pagi mereka ada tugas sebagai sinoman di acara pernikahan. Dengan tak sabar, dia pun mengetikkan pesan untuk Arga.

“Hai, Bro, kamu sehat, kan? Besok berangkat bareng ke resepsi, ya.”

Terakhir kali dia bertemu dengan para sahabatnya itu waktu acara kumbokarnan  minggu lalu. Kerinduannya makin menjadi-jadi karena situasi keluarganya seperti terombang-ambing di tengah badai. Ketika beberapa menit berlalu dan belum juga ada respon dari para sahabatnya, Nidya mendengus kesal. Dia mengenakan kerudung kaus hitam dan keluar dari rumah yang terasa mengungkung. Gadis berkulit kuning langsat dan bermata agak sipit itu berjalan kaki menuju bangunan kombinasi kayu jati dan batu bata yang berjarak tiga rumah dari tempatnya.

Sewaktu langkah kaki Nidya makin dekat ke tempat tujuan, terdengar suara-suara pekik penuh semangat dari para remaja yang sedang berlatih silat. Ketika tiba di pelataran rumah itu, Nidya agak ragu-ragu. Dia menyaksikan Pak Agung sedang melatih teknik tendangan dengan menggunakan bantalan di tangan.

“Hayo, Ga, kurang kuat! Tendangan harimau itu pakai tumit. Ulangi!”

Arga kembali mengambil aba-aba, lalu melompat sembari memiringkan tubuh dan melancarkan tendangan yang diarahkan ke bantalan yang dipegang Pak Agung, tetapi tampaknya masih kurang kuat karena laki-laki pendekar bergeming dari tempatnya berdiri.

“Sekali lagi. Fokus. Lebih bertenaga!”

Arga mengambil napas dan tampak mengumpulkan segenap tenaga. Sekali lagi dia lancarkan tendangan mengenai bantalan. Dan kali ini, kaki Pak Agung bergeser beberapa senti ke belakang.

“Bagus, ada peningkatan.”

Tampang Pak Agung tidak berubah, masih datar. “Baik, Anak-Anak, kita sudahi latihan hari ini!”

Peserta latihan langsung merapikan barisan menghadap Pak Agung.

“Sebelum pulang, kita berdoa dulu. Berdoa mulai!”

Nidya mengembuskan napas, merasa sedikit lega karena tidak harus menunggu lama hingga latihan usai. Tadi dia lupa jika hampir setiap sore rumah ini ramai dengan anak-anak yang berlatih silat. Dia merasa segan jika harus melintas di tengah anak-anak yang sibuk berlatih itu.

Gadis itu bergegas melangkah ke pelataran dan menyapa Arga yang bersiap pulang.

“Pantas aja pesanku nggak kamu balas-balas. Aku lupa kalau Sabtu sore jadwal latihanmu.”

“Pesan apa?”

“Besok kita berangkat bareng ke acara hajatan, ya? Aku jemput jam setengah tujuh.”

“Jam sembilan balik buat ganti baju dulu, kan?”

“Iya, kayak biasanya aja ya, Ga. Eh, udah dulu ya, aku mau ketemu Sita.”

The ChampionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang