5. Pertikaian

4 1 0
                                    

Nidya berjingkat perlahan memasuki rumahnya. Pintu depan tidak terkunci, mungkin Ayah dan Ibu atau salah satunya sudah pulang. Gadis itu bersyukur menikmati suasana yang lengang karena bisa saja rumah itu mendadak berubah menjadi riuh rendah.

Nidya melepas kerudung putih dan mengganti seragam sekolahnya dengan baju rumahan. Cuaca terik di luar membuat tubuhnya lemas saat mengayuh sepeda untuk pulang. Nidya mengambil air dingin dari kulkas lalu meneguknya ketika melihat tubuh sempoyongan keluar dari kamar utama.

“Ibu!” Nidya buru-buru menghampiri perempuan setengah baya yang terlihat pucat dan menggamit lengannya.

“Ibu sakit?”

Ibu menggeleng dan mengamati raut wajah manis yang menatapnya cemas.

“Ibu cuma kurang tidur.”

Nidya termangu sesaat. “Habis berantem dengan Ayah lagi?”

Ibu tampak terkesiap. Meskipun dia berusaha menyembunyikan perselisihan dengan suaminya, tetap saja anak bungsunya itu bisa menangkap kejanggalan yang terjadi bertahun-tahun belakangan.
Sikap dingin juga tak acuh yang ditunjukkan Ayah dan Ibu membuat Nidya sering bertanya-tanya, sedalam apa luka batin yang tertoreh di hati mereka masing-masing. Bahkan, akhir-akhir ini, Ayah sering tidak pulang selama berhari-hari.

Ibu menggeret kursi di meja makan, lalu duduk. Nidya menyusul duduk di sampingnya.

“Nid, bagaimana pendapatmu kalau Ibu bekerja? Ada teman, Bu Susan, yang menawari Ibu kerja di pabrik garmen. Katanya lagi butuh tambahan karyawan.”

Nidya tidak memercayai apa yang didengarnya. Ibu ingin bekerja? Selama ini, dia belum pernah melihat Ibu mencari nafkah di luar rumah.

“Ibu ingin nyari aktivitas lain biar nggak jenuh.”

Nidya menatap Ibu dengan pandangan tak percaya. Alasan Ibu tampak dibuat-buat. Padahal Nidya yakin jika selama ini Ibu menikmati perannya di rumah. Terlintas sebuah pikiran negatif dalam benak Nidya dan hal itu membuat tubuhnya gemetaran. Apakah Ibu hendak mengambil sebuah keputusan besar dengan berpisah dari Ayah?

“Terserah Ibu aja baiknya gimana.” Nidya tersenyum untuk memberikan dukungan. 

Pada akhirnya, Nidya menyerahkan keputusan di tangan Ibu. Dia merasa tidak berhak menghalangi Ibu beraktivitas di luar rumah karena pasti ada alasan kuat yang menjadi latar belakangnya.

“Tapi … Ayah setuju kalau Ibu kerja?”

Ibu tercenung sesaat dengan kedua tangan menopang dagu, kemudian mengedikkan bahu. Tiba-tiba, hati Nidya berbalik tidak nyaman, tetapi segera ditepisnya. Diam-diam dia berdoa agar setelah ini hanya kejadian baik yang datang pada keluarga mereka.

Malam itu tampaknya akan berlalu dengan tenang. Namun, dugaan Nidya keliru. Ketika tengah menyelesaikan tugas sekolah di kamar, dia mendengar Ayah pulang setelah dua hari tidak tampak batang hidungnya. Sebenarnya dia ingin lekas menghambur pada Ayah untuk melepas kerinduan. Namun, saat gadis itu membuka pintu kamar, dia urung keluar begitu mendengar suara Ayah dan Ibu saling teriak bersahutan.

Ibu tidak terima dengan kelakuan Ayah yang datang dan pergi seenak hati. Sementara Ayah merasa bahwa Ibu sudah tidak menghargainya sebagai kepala keluarga. Entah siapa yang salah. Ayahkah yang tidak mau mengalah, atau hati Ibu yang mulai lelah?

Apalagi ketika Ibu menyinggung tentang rencananya bekerja, Ayah pun mulai murka. Intonasi suara Ayah lama-kelamaan meninggi. Begitu pula dengan Ibu yang suaranya terdengar bergetar di sela-sela isakan.

Nidya menutup kembali pintu kamarnya rapat-rapat. Hilang sudah minatnya untuk menyelesaikan tugas sekolah yang menumpuk. Dia melangkah gontai ke tempat tidur dan mulai meringkuk di atasnya. Kekhawatirannya sore tadi rupanya terjadi. Dia pun bisa menebak apa yang akan terjadi setelah ini. Suara barang pecah belah, entah piring atau gelas yang hancur berderai mulai menusuk gendang telinga.

The ChampionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang