Prolog

50 14 12
                                    


Malu aku malu, pada semut merah. Yang berbaris di dinding, menatapku curiga. Seakan penuh tanya, sedang apa di sini ....

Alunan lagu Kisah Kasih di Sekolah milik musisi Obie Mesakh sudah berhenti berbunyi dari warung sebelah. Namun, bocah berseragam merah putih itu masih enggan meninggalkan 'binatang peliharaan' miliknya.

Namanya Alzheimer Araav. Masih duduk di bangku tingkat dua Sekolah Dasar. Hobinya ada tiga, bermain game, memancing dan salah satunya ini; menangkap serangga, lalu memeliharanya.

Dia mendongak. Beralih tatap ke suasana koridor yang mulai sepi karena satu persatu murid sudah masuk ke kelas masing-masing. Alzheimer selalu dikucilkan. Mereka bilang, anak itu memiliki kebiasaan aneh dan juga tidak asik.

Alzheimer sama sekali tidak peduli. Yang penting ia punya Mimi dan Momo –semut merah yang baru saja menjadi binatang peliharaannya lima belas menit tadi.

"Lu ngapain, Cil?"

Alzheimer menolehkan kepalanya ke samping kiri. Tepat kepada guru bahasa inggris yang sedang bersedekap sambil menatap heran. Anak itu hanya bergeming, tidak punya alasan untuk harus menjawab sapaan guru nyentrik satu itu.

Guru bahasa inggrisnya –yang masih keturunan Tionghoa– menunduk dan ikut jongkok. Ia bergeser sedikit, menyamakan tingginya dengan Alzheimer. Pria dewasa itu ikut memperhatikan apa yang menjadi fokus anak didiknya. Lima menit berlalu, akhirnya ia bosan juga.

"Haiya, lu orang ngapain ngurung semut? Mau ternak, ha?" tanya guru tersebut.

Alzheimer mendongak, mensejajarkan wajahnya dengan wajah sang guru. Ia berujar, "Ini namanya Momo sama Mimi, Pak."

"Oh ... hai Mimi dan Momo." Sang guru mengangguk pura-pura paham, seraya melambaikan tangan kanannya kepada Mimi dan Momo. Bersikap seperti sedang berkenalan dengan teman baru. "Ini yang namanya Mumu gak ada, cil?"

"Ada kok, Pak. Bentar, Alzheimer cariin." Alzheimer merogoh saku celana merahnya, mencari sesuatu dari dalam sana. Sedangkan sang guru hanya menatap penuh penasaran.

"Ini Pak," ujar Alzheimer seraya mengulurkan serangga kepada gurunya.

Sang guru terbelalak, ia mundur beberapa langkah sambil menunjuk-nunjuk serangga yang berada di tangan Alzheimer. "Ke ... kecoa?!"

Alzheimer mengangguk semangat dengan tatapan polosnya. Bibirnya melengkung ke atas dan mata cokelatnya terbentuk menjadi bulan sabit. "Iya, Pak. Ini namanya Mum—"

"HUAAA, ADA KECOA!"

Guru bahasa inggris Alzheimer langsung mengambil langkah seribu sebelum anak itu menyelesaikan kalimatnya. Anak berseragam merah putih itu hanya menatap heran sembari menggaruk-garuk pelipisnya.

"Lho? Padahal 'kan Mumu nggak ngapa-ngapain," ujar Alzheimer seraya mengelus-elus serangga di tangan kirinya. Ia sungguh tidak paham kepada orang-orang yang takut kepada serangga bersayap itu. Padahal, tidak semuanya jorok. Ada juga yang lahir dan tumbuh berkembang sampai mati di tumpukan kardus ataupun koran.

"Semut-semut, kalian tahu, nggak, kenapa Pak Guru lari?" tanya Alzheimer pada Mimi dan Momo yang hanya menatapnya heran.

"Dih. Emang ya dasar. Manusia itu goblok semua! Udah tahu dia lari karena nggak berenang, eh masih aja nanya."

Alzheimer mendelik. Bukan karena perkataan Mimi barusan, melainkan serangga itu bisa ....

Bicara?!

"A ... apa Mimi barusan habis ngomong?" Alzheimer bertanya lagi untuk memastikan bahwa yang didengarnya tadi adalah fakta. Namun, siapa sangka, semut itu benar-benar menjawabnya.

"Ya terus gue tadi ngapain bocah? Ngitung bulu ketek?!"

Alzheimer berkedip dua kali. Sedetik kemudian bocah itu berlari sambil berteriak;

"HUA, SEMUTNYA BISA NGITUNG BULU KETEK!"

***

Prolog [Done] 

Alzheimer (2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang