11. Two Words

634 140 71
                                    

Sejak pertemuan terakhir dengan Chairil malam itu, Wafda menyadari satu hal. Ia memang bukan lagi wanita yang sempurna, dan semesta pasti menyetujui hal itu. Tapi, perkataan Chairil lah yang seolah memberinya dorongan untuk memperbaiki diri.

Jika sempurna tidak bisa lagi jadi predikatnya, maka semoga saja setengah dari sempurna itu sudi untuk menjadi bagian dari hidupnya.

"Sempurna itu fana. Di zaman sekarang, gak ada manusia yang sempurna. Saya, kamu, kita semua itu derajatnya setara di mata Tuhan. Yang membedakan cuma banyak dan sedikitnya pahala serta amal yang kita perbuat selama hidup."

Ucapan Chairil bukan semata-mata ingin menunjukan kalau dia orang yang baik dan sholeh. Laki-laki itu justru seolah memberi tahu kalau semua orang pantas untuk mendapatkan kesempatan, selama masih ada waktu.

Wafda pernah mendengar dari seseorang. Katanya, hidayah itu kita yang menjemputnya, bukan kita yang menunggu dia datang.

Percayakah kalian, jika Wafda berkata kalau sejak malam itu ia seperti telah mendapatkan hidayahnya kembali?

Perempuan itu jadi banyak membaca buku-buku koleksi Abi dan Umi. Bukan lagi novel romansa ataupun komik dewasa seperti punya Jae, Wafda justru membaca buku-buku yang berbau agamis.

Ia akan mengurung diri di kamar dengan tumpukan buku yang menanti untuk dibaca. Wafda mulai menggiati kegiatan tersebut sejak pertemuan terakhirnya dengan Chairil. Dan, dari kegiatan itu, pikiran Wafda seolah terbuka lebar.

"Lo merubah diri tujuannya apa?" Ben waktu itu bertanya, agak heran dengan perubahan drastis yang terjadi pada sepupunya itu. Meski perubahannya baik, tapi tetap saja seperti ada yang mengganjal.

"Supaya cowok gue gak ninggalin gue," jawab Wafda asal, ia menatap Ben dengan tatapan jail. Namun, laki-laki itu justru membalasnya dengan tatapan serius yang mengundang ledakan tawa Wafda, "Bercanda elah!"

Wafda mengambil napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya,

"Merubah diri gak butuh alesan untuk siapa a', kalo gue berubah tapi menggunakan seseorang sebagai tujuan gue, pasti gue bakal terus bergantung sama dia. Di sini gue murni pengin berubah karena emang gue gak mau selamanya dipandang jadi manusia hina."

"Siapa yang manggil lo dengan sebutan kayak gitu? Sini gue kebiri orangnya!" Sungut Ben kesal. Tidak terima jika sepupunya yang paling berharga ini disebut manusia hina.

"Yeuuuuu galak amat si bapak!" Cibir Wafda.

"Bagen, pokoknya biarin dunia tau kalo bodyguard si Wafda orangnya galak! Biar gak ada laki-laki brengsek yang berani nyakitin lo! Tapi kalo sampe ada, bedog aing yang melayang ke burungnya!"

Saat itu, Wafda menanggapinya dengan gelakan tawa semata. Tapi, dalam hati ia sangat memahami maksud tersirat dari ucapan Ben barusan.

"Makasih a'," ujar Wafda pelan.

"Makasih buat apaan?"

"Buat ngizinin gue nginep di sini."

Dahi Ben mengernyit dalam, "Lo ngomong kayak gitu kayak gak bakal ke sini lagi aja?"

Wafda tertawa sekilas. Sepertinya, sangat kentara sekali rencananya itu. Ben memang lelaki yang sangat peka. Perempuan itu mengangkat kedua bahunya acuh.

"Gak tau juga sih, tapi kayaknya abis selesai kuliah gue mau ikut bonyok aja." Jawab Wafda.

"Bakal jarang ada di Indo?"

Wafda bergumam pelan, "Mungkin."

Wafda menyunggingkan bibir tipisnya. Sesaat ia menyadari kalau setiap pertemuannya dengan seseorang pasti akan meninggalkan kesan tersendiri.

AbditoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang