16. Tomorrow is Like Water [✔]

945 153 79
                                    

Kebanyakan orang akan berharap bahwa setiap hal yang ia ekspektasikan akan sesuai dengan kenyataan. Padahal, berharap pada ekspektasi itu sama saja tidak percaya perihal takdir yang telah digariskan oleh Sang Penulis skenario kehidupan.

Karena takdir dan waktu adalah sinonim yang saling berkaitan. Kita tidak akan pernah tahu, takdir apa yang akan menimpa kita di waktu tertentu.

Umpamanya kira-kira seperti; esok hari tidak lebih dari sekedar aliran air. Kita tidak akan pernah tahu ke mana tujuan air mengalir, lalu di mana aliran air tersebut akan berhenti. Tujuan mereka pasti tak tentu arah.

Namun, mereka tetap pada jalannya. Menyerahkan semuanya pada takdir dan waktu, hingga akhir.

Dalam kehidupan seorang Chairil Aksalan, menikah sebelum memasuki usia kepala tiga adalah sebuah tujuan yang ingin ia realisasikan. Bukan semata-mata ingin mempunyai seseorang yang bisa mengurus segala keperluannya, kalau itu sih ia bisa melakukannya sendiri.

Tujuan menikah sebelum memasuki kepala tiga ia harapkan agar dapat menghindari zina dan hal yang tidak diinginkan.

Namun, jangankan memasuki usia kepala tiga. Disaat usianya baru menginjak umur 27 tahun saja, ia sudah ditagih bakal calon mantu oleh kedua orang tuanya.

"Kamu ini sibuk ngajar terus, kapan ada waktu buat nyari calon istrinya?"

"A', percuma loh kalo mapan tapi kurang belaian."

Chairil tidak pernah membantah ucapan kedua orang tuanya, dia hanya menanggapinya dengan senyum lalu berkata, "Iya, Ambu Abah, sabar ya? Ini juga lagi dalam tahap pencarian. Chairil minta doanya aja."

Sebuah pengalihan basi yang sudah bosan didengar oleh Abah dan juga Ambu.

Bukan karena ingin mengulur waktu. Tapi Chairil memang tidak ada waktu untuk sekadar berkenalan dengan perempuan mana pun. Meski kampus yang menjadi tempat mata pencahariannya itu notabene dihuni oleh kaum hawa, tetap saja tidak ada yang mampu menarik perhatiannya.

Karena bagi Chairil, tempat kerja ya tempat untuk bekerja. Bukan tempat untuk mencari belahan jiwa.

Hingga akhirnya, takdir menggiring sebuah kejadian di mana untuk pertama kalinya ia melihat sosok Wafda. Perempuan dengan gaya yang sangat berbeda dari yang perempuan yang biasa ia lihat.

Perempuan yang pertama kali datang ke kampung ini mengenakan pakaian serba minim, kini justru datang ke masjid dengam pakaian yang sangat sedap untuk di pandang.

Chairil tahu, walau hanya memandangi jatuhnya pun sudah zina. Tapi biarkan, sekali ini saja. Ia ingin melihat bagaimana sosok yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya itu ikut serta bercengkrama dengan para ibu-ibu di sekitar.

Padahal, dalam hati Chairil sudah mengejeknya mati-matian. Wafda pasti sama sekali tidak mengerti apa yang ibu-ibu itu bicarakan. Jadi dalam pandangannya, Chairil dapat menangkap bahwa Wafda hanya menyimak semata.

Jika ia menaruh ekspektasi pada takdir bahwa kelak perempuan itu bisa jadi pendamping hidupnya, apa dirinya telah menentang takdir Tuhan?

Entahlah. Tapi, ia yakin kalau takdir Tuhan itu mutlak.

-

Sejak kepulangannya dari kediaman Ben, Wafda lebih banyak merenung. Meski raganya terlihat diam, namun pikirannya berperang. Banyak hal yang Wafda pikirkan. Terutama perihal Chairil yang masih setia menunggui jawaban darinya.

Laki-laki itu juga kini sering menghubunginya. Mengingatkannya untuk shalat, tadarus, serta tidak lupa hal basa-basi seperti makan, mandi, dan lain sebagainya.

AbditoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang