13. Somehow

607 141 38
                                    

Warning; harsh words.

Waktu sudah terlewati berbulan-bulan sejak Wafda putus dari Jae, saat itu pula ia memilih untuk menyibukkan diri dengan tugas akhirnya. Hampir setiap hari perempuan itu akan berkutat dengan laptop, lengkap dengan semua jari yang sibuk bekerja.

Wafda berpikir, mungkin dengan begitu bayangan Jae bisa memudar dan seluruh perasaannya terhadap Jae akan menghilang terbawa oleh waktu.

Tapi mungkin tidak langsung menghilang semuanya, namun perlahan. Dan perlahan itu menyiksa. Setiap kali sedang blank karena skripsinya, rasanya Wafda ingin kembali menangis saat ingatan tentang Jae terputar lagi.

Namun, hal itu tidak pernah terjadi lantaran Wafda selalu mengingat ucapan Ben tempo lalu. Ucapan dari sepupunya itu bahkan ia catat dan ia tempel di dekat meja belajarnya. Sebuah pengingat bijak dari seseorang yang mempunyai sampul lawak.

Ah, Wafda jadi kangen ribut dengan Ben.

Beberapa waktu lalu setelah kepulangannya ke Jakarta, tidak lama kemudian Ben menghubunginya. Percakapan pertama mereka terbilang sangat tidak berbobot.

Tapi, memangnya sejak kapan percakapan mereka pernah ada yang berbobot?

Kala Wafda sedang kembali dengan kesedihan, Ben akan menjadi tempat keluh kesahnya yang lain. Ben juga kerap memperingati Wafda tentang pesan dari Umi yang belum sempat ia wujudkan.

Namun, peringatan seperti menjalani kewajiban itu tidak pernah ia lewatkan, kecuali saat Wafda sedang haid.

Dulu saat awal punya kontak Ben, Wafda sempat menelponnya untuk mencurahkan isi hatinya. Ada petuah dari Ben, berupa kalimat panjang yang paling membekas dalam ingatan Wafda yakni,

"Sesulit dan serumit apapun hidup lu, tetep jalanin. Percaya kalo setiap kejadian yang dateng ke hidup lu itu merupakan rencana Tuhan juga.

"Jangan tinggalin shalatnya. Lu tau 'kan gue gak selalu bisa ngontek karena gue juga punya kesibukan? Nah kalo gue lagi gak ada, curhatnya sama Tuhan.

"Saat lu membisikan kesedihan ke tanah, langit dan penghuninya juga bisa mendengar, Waf. Mereka mendengar, meski gak langsung memberi jawaban. Tapi mereka tahu, ada waktu yang tepat buat memberi jawaban atas kegundahan lu itu.

"Mau lo lagi sedih, kecewa, stress karena skripsi dan lain-lain. Obat yang lu butuhin itu cuma membumikan dahi, berkeluh kesah sama Tuhan. And that's enough."

Untuk saat ini, Ben bisa dibilang sebagai penopang kewarasan Wafda diantara kekacauan hidup yang bertubi-tubi mendatanginya.

Ya Tuhan, Wafda jadi ingin mengenalkan salah satu teman perempuan pada Ben supaya sepupunya itu tidak lagi mendengarkan tembang sunda sendirian.

"Waf, makan dulu. Kamu daritadi belum makan loh!" Panggil Ibu dari luar kamar.

"Iya bu, aku keluar nih." Wafda menyimpan file yang tadi sedang ia ketik, kemudian mematikan laptopnya. Ia segera beranjak keluar untuk makan malam.

Akhir-akhir ini, Ayah dan Ibunya jarang melakukan perjalanan bisnis ke kota maupun luar negeri. Kalaupun mengharuskan untuk pergi, biasanya hanya Ayah saja yang berangkat. Itu pun hanya 2-3 hari saja. Padahal biasanya mereka bisa tidak pulang berbulan-bulan.

What a surprise life.

"Masak apa, bu?" Wafda bertanya sembari memeluk Ibu yang sedang menyendokkan lauk untuk Ayah.

"Ya ampun Waf, kaget ibu!" Ujar Ibu, mencubit pelan pergelangan tangan Wafda yang melingkar di perutnya.

"Hehehe.."

AbditoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang