“Orang tuaku menghilang!”
“Apa?” Doyoung memekik kaget. Ditatapnya gadis cantik bernama Jennie itu yang kini tengah tertuduk menahan tangis.
“Kau yakin itu? Mungkin orang tuamu sedang pergi ke suatu tempat.”
“Tidak, pengacaraku bilang seseorang sengaja menculik mereka dan orang itu juga meninggalkan pesan yang menakutkan untukku.”
“Pesan?” Taeyong bertanya pelan.
“Ya. Dalam pesannya tertulis kalau aku tidak boleh mencari orang tuaku atau aku akan bernasib sama seperti mereka.”
“Apa maksudnya?” Doyoung mengernyit tak mengerti.
“Kau sudah melaporkannya ke polisi?”
“Tidak, tapi mungkin pengacara orang tuaku sudah melaporkannya.” Taeyong mengangguk paham.
“Apa mungkin orang yang menculik orang tuamu itu orang yang sama dengan orang yang membunuh ayahku?”
“Aku tidak tahu Doyoung.” Jennie menangis dalam diam.
“Seperti yang kukatakan kemarin. Kemungkinan kalian akan bernasib sama sepertiku. Menjadi seorang yatim piatu.”
“Tidak. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi pada Jennie,” ujar Doyoung. Ia mengepalkan kedua tangannya dan bersumpah akan membunuh orang yang sudah membuat semua kekacauan ini.
“Kalau kalian nekat mencari orang tua Jennie, itu sama saja dengan bunuh diri.”
“Tapi Taeyong, kita tidak mungkin membiarkan ini semua. Sudah cukup kita berdua yang kehilangan orang tua, tidak dengan Jennie. Kita masih punya kesempatan untuk menyelamatkan mereka.”
“Memangnya kau tahu kemana penculik itu membawa mereka?” Doyoung terdiam. Ia sama sekali tidak punya gambaran kemana kira-kira penculik itu membawa orang tua Jennie pergi.
“Sekarang aku memang tidak tahu, tapi aku akan mencari tahu.”
Taeyong mengetuk-ngetuk jarinya pada meja kayu yang berada di ruangannya. Ia kembali teringat pada percakapannya dengan kedua sahabatnya tempo hari.
Sekarang apa yang harus ia lakukan? Ia tidak mau Doyoung terlibat terlalu jauh dan sampai membahayakan dirinya sendiri. Semuanya bisa kacau jika kedoknya terbongkar.
Memilih untuk tak memikirkannya, Taeyong kembali sibuk melototi beberapa dokumen penting yang ada di atas mejanya. Berharap akan menemukan sebuah bukti atas ketidakadilan yang harus diterima keluarganya beberapa tahun silam.
“Sial. Kenapa aku tidak menemukan apapun?” Taeyong mengumpat kesal lalu mengambil dokumen lain dari dalam kopernya, dan mulai memeriksanya kembali.
Namun hingga hari menjelang malam, Taeyong belum menemukan apapun. Ia akhirnya menyerah dan beranjak menuju ruangan lain yang tak jauh dari ruangannya tadi.
Klek
Pintu terbuka. Sepasang mata milik wanita yang berusia sekitar empat puluh tahunan itu langsung tertuju ke arahnya.
Tatapannya memelas dan Taeyong bisa melihat jejak air mata yang begitu kentara di kedua pipinya yang sedikit kotor. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut wanita itu. Tentu saja, karena Taeyong telah melakban mulutnya.
Srettt
Dalam satu kali tarikan, lakban itu terlepas. Wanita itu sempat meringis sebelum akhirnya memohon ampun pada Taeyong.
“Aku mohon Taeyong, maafkan aku dan biarkan aku keluar dari sini. Aku akan memberikan apapun yang kau mau, aku janji.” Untuk kesekian kalinya wanita itu terisak di depan anak laki-laki yang jelas umurnya jauh di bawahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Venganza [END]
Fanfiction[Jenyong ft Doyoung] Tentang cinta, persahabatan dan balas dendam. Judul sebelumnya : Am I Wrong?