Aku Kahfi Wiratama, Seorang introvert yang selalu bermimpi dalam segala hal. Menerka dan berimajinasi adalah salah satu kelebihan dari orang-orang sepertiku, bahkan sering kali kisah hidup yang ku jalani hampir semuanya hasil dari skenario yang ku buat sendiri termasuk kisah cinta. Bagiku, dunia bukan tentang realita tapi lebih kepada kemampuan kita dalam memaknainya. Hidup yang tak di maknai tentu tak layak untuk di hidupi, begitulah caraku memandang kehidupan. Menurutku, menjadi asing lebih menarik daripada memilih ikut dengan hal-hal yang kadung lumrah yang terkadang mengharuskan kita tunduk dalam kemunafikan. Ah, sudah lah. Itu hanya buah pikirku yang ku anggap sebagai idealis. Toh, dunia bukan tentang bagai mana caramu melihatnya, melainkan tentang cara dunia melihat kita!!!
Aku di besarkan oleh lingkungan yang sangat memegang erat budaya ketimuran, sopan dan santun menjadi citra diri seorang anak yang lahir dari sebuah tradisi. Tumbuh bersama anak-anak dari identitas yang sama membuat masa kecilku cukup berarti dan lebih mudah untuk di lalui, terlebih ada gadis kecil yang di kemudian hari menjadi alasanku berani menciptakan mimpi dan mengubahnya menjadi bait-bait puisi. Yap. . . Gadis kecil itu bernama Clara Anindita, teman masa kecil sekaligus tetangga yang paling sering menjadi teman bermain, mengisi hari sampai saatnya tiba kami harus tumbuh dewasa tanpa saling mengucapkan satu kata. Tanpa pesan hampir tak berkesan, dan begitulah cara semesta membuat jarak dengan cara perpisahan. Aku menetap di lingkungan (desa) yang sarat nuansa, sedang Lara menatap cakrawala (kota) dan melanjutkan impiannya demi sebuah cita-cita.
Sejak itu, kami tak lagi saling tahu. Jangankan pesan, saling kabar pun kami tak mampu, mungkin cara yang paling sederhana untuk kembali mengingat adalah tentang saling melupakan. Hari berganti, tahun menjadi windu, tapi waktu selalu tahu kapan harus mengusik rindu dan tanpa ragu ia membuat siasat yang tak pernah bisa di lacak dengan ribuan prasangka. Untuk pertama kalinya, aku menyadari bahwa waktulah yang paling berperan membuat awal sebuah kisah itu. Bermula dari temu menuju keinginan yang bertajuk harap, dan kita larut dalam ikatan janji di masa lalu.
Hari itu, selepas solat Ied hari raya idul fitri purna, seperti biasa di tengah kerumunan manusia yang hendak keluar dari Masjid berdesak-desakan, di dahului oleh kaum pria lalu para kaum hawa yang menyusul di belakangnya untuk pulang kerumah masing-masing. Sedang aku masih berada di dalam masjid menunggu keadaan sedikit lengang, sembari menunggu kerumunan di luar masjid agak sepi, aku menyempatkan bersalaman dengan handai taulan yang masih berada di dalam masjid untuk mengucapkan selamat hari raya idul fitri. Setelahnya aku bergegas dari tempat ku dan berjalan keluar melihat betapa ramainya pengunjung masjid demi melaksanakan Solat Id, tebersit tanya dalam benak, mengapa sebegitu antusiasnya manusia pada hari ini (Lebaran), berbondong-bondong mengerumuni Masjid yang di hari biasa tampak sepi seperti lokal kelas saat hari libur, Apakah hari kemenangan bagi setiap umat muslim hanya di rayakan pada tiap tahun sekali? Sedangkan kemenangan yang sejati adalah saat setiap insan mampu melawan nafsu yang bergejolak, hadir menjelma sebagai ambisi untuk mendapatkan sesuatu yang sangat di inginkan dan bahkan ketidakpuasan atas apa yang telah Tuhan anugerahkan. Bukankah bersyukur kunci kebahagian yang mengantarkan setiap orang menuju kemenangan yang sebenarnya?
Tiba-tiba, wajah itu mampu mengalihkanku dari semua pertanyaan yang masih menyeruak dalam pikiran lalu mengganti semua tanya liarku.
"Itu bukannya Lara?" Tanyaku dalam hati.
Kupercepat langkah kakiku untuk mendekati sosok yang menghentikan arah pandanganku itu, dan dugaanku tepat, wanita yang sedang berjalan diantara kerumunan itu adalah Lara.
"Laraa !!" Sapaku dengan suara lirih
Ia menahan langkah dan menoleh ke arahku yang tepat berada persis dibelakangnya lalu membalas sapa dan menatapku dengan senyum.
"Hey, kamu Wir!! Kirain siapa. . ." Ia balik menyapa dengan hangat.
"Hehe Iya Ra. Kapan pulang?" Ku mulai obrolan dengan basa-basi. "Tumben Lebaran di Muratara, biasanya lebaran di kota nun jauh disana."
"Ah, lebaran tahun kemarin juga pulang kok," Ia mematahkan tuduhanku, lalu balik menuduhku. "dasar kamunya aja yang sombong sama aku."
"Oh ya, Tapi... " Sambil mengingat moment lebaran tahun lalu,
![](https://img.wattpad.com/cover/263931278-288-k969465.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Abadi Laraku (Sebuah Cerpen)
RomanceJika hidup tentang penantian maka, aku sudah berada di jalur yang benar sebab, bagiku cukuplah kesementaraan dunia menahan bahagiaku dengan mu. Jika hidup tentang bertahan maka, aku salah satu dari beberapa orang yang hingga saat ini masih menggengg...