Sahabat atau Rasa

6 0 0
                                    

Sejak pertemuan itu, semakin hari perasaanku terhadap Lara semakin menjadi, rindu demi rindu datang bagai candu yang sesegera mungkin harus di cari penwarnya agar tak semakin bergejolak. Logikaku selalu mencoba melawan perasaan tapi rasa rindu selalu menjadi pemenang, seberapapun alasanku untuk menahan dan memendam namun hastrat ini semakin menjadi beban, sekuat apapun aku bertahan tetap saja batin ini memaksa hati untuk mengungkapkan. Betapa bingung aku pada segala rasa yang sedang bersemayam, bingung yang kemudian muncul keraguan memilih antara memberanikan diri agar rindu ini terbalaskan atau tetap bertahan dengan segala kemungkinan membiarkan rasa ini menjadi sebuah Rahasia. "Dasar pecundang" kata itulah yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan ku saat itu, "Terlalu banyak menimbang pada akhirnya menjadi bimbang, terlalu banyak berandai andai pada akhirnya akan berujung pada harap tak sampai", kalimat itu melekat dalam pikiran ku. tanpa disadari, keadaan ini perlahan merubah sikapku terhadap Lara, saat bersamanya aku selalu bertingkah aneh dan tak lagi menjadi diri ku seperti biasanya, aku menjadi pendiam saat di dekatnya sungguh, aku telah menjadi orang yang berbeda bukan seperti sahabat yang Lara kenal seperti biasanya.

Awalnya tak sedikitpun terlihat ada perubahan atas sikapku pada Lara, semampu dan sebisaku memendam sedalam mungkin rasa yang menggeliat dan perlahan menguasai seluruh ruang hati agar semuanya terlihat biasa saja. Cinta datang karena terbiasa itu memang benar adanya, apa yang kurasa tak bisa kutampik bahwa aku telah bermain api pada sahabatku sendiri, bingung menentukan sikap, memilih antara Sahabat atau Rasa. Semakin hari aku semakin resah karena perasaan yang selalu membuatku tak menentu, aku yang biasanya memberi perhatian ala kadarnya sekarang perhatianku lebih dari sekedarnya. Perhatian yang kuberikan pada Lara bukan lagi perhatian sahabat antara pria dan wanita melainkan karena perasaan suka, sering kali Lara memergokiku yang curi-curi pandang padanya, bahkan ia mulai curiga terhadap tatapanku yang mulai terlihat berbeda. Selain itu, aku yang tak biasa membuat story di medsos sekarang lebih aktif mengunggah kata-kata ungkapan rasa tapi dengan gaya sindiran hanya untuk dilihat olehnya dan stalking apapun aktivitasnya di dunia maya telah menjadi kebiasaanku, sungguh rasa ini telah membodohkanku menutup semua akal sehat. Ingin sekali kulenyapkan rasa ini demi keutuhan persahabatanku, tapi aku bisa apa?

Sampai di Sabtu malam, selepas kegiatan rutin diskusi mingguan yang diadakan setiap malam minggu antar pemuda dan pemudi yang tergabung dalam keanggotaan karang taruna, Lara memberitahukan padaku bahwa ia akan kembali ke kota nun jauh disana untuk beberapa waktu demi menyelesaikan suatu urusan yang mengharuskan ia pergi.

"Wir, kayaknya tanggal 18 nanti aku harus balik ke kota nun jauh disana deh!!" Malam itu tepat dua minggu sebelum keberangkatnya.
Keterkejutanku membuat aku membalas ucapan Lara dengan sedikit pekikan "Serius kamu, Ra?" suaraku membuat teman-teman mengalihkan perhatian padaku dan Lara.
Kemudian suara Shakila membuat suasana hening seketika "Hm. . hm. ." lalu ia berucap "kayaknya ada yang harus siap-siap kehilangan nih" diringi oleh sorak-sorai "CIE-CIE" yang membuatku malu yang disertai mimik muka yang memerah dan ternyata Shakila lebih dulu tahu daripada aku tentang rencana kepergian Lara.
"Apaan sih. . ." mencoba mengalihkan "Percaya sama Shakila, hahaha. . . "
Shakila dengan cepat memotong kilahku "kalau nggak percaya tanya aja langsung ke orangnya." sembari memonyongkan bibir kearah Lara.
Kemudian salah seorang teman bertanya langsung pada Lara, "Benaran kamu mau pergi ke kota nunjauh disana lagi, Ra?"
"Gini teman-teman. . . yang di bilang Shakila memang benar, rencananya tanggal 18 berangkatnya." Keadaan kembali mereda "Doain aja biar semuanya di lancarkan." Tutup Lara.

Kutanya apa yang membuatnya harus kembali ke kota nun jauh disana, berulangkali aku bertanya dan jawabannya hanya satu "Rahasia". Kebahagiaan yang tergambar dari wajahnya berbanding terbalik dengan suasana hatiku yang tiba-tiba sedih.
"Hey, kenapa mukanya sedih gitu sih?"
"Ah, nggak. . . nggak sedih. . . siapa bilang sedih"
"Yakin?" Lara memastikan.
"Ya, yakin lah."
"Oh, baguslah kalau gitu." Dengan cuek Lara berucap. "Aku Cuma pengen bilang sesuatu aja bahwa, yang membuat sesuatu jauh itu bukan jarak tapi diam!".

Kegelisahan dan kekhawatiranku akan kepergian Lara, ditamabah sifat riangku yang perlahan berganti dengan canggung jika hanya berdua dengannya menjadi boomerang bagiku yang semakin tak mampu mengendalikan perasaan yang mulanya tersimpan rapat-rapat di palung hati. Nampaknya apa yang kurasa sudah tak mampu kubendung, dan sesegera mungkin harus diungkapkan agar tak menjadi sebuah penyesalan, sembari berharap semseta berpihak padaku hingga Lara pun membalas dengan rasa yang sama, agar kisah ini tak berujung pada kasih tak sampai. Namun, lagi-lagi Logikaku menolak dan lebih memilih agar aku tetap menjaga perasaan demi persahabatan dan mengorbankan rasaku agar hubungan pertemanan setap terjalin dengan semestinya. Untuk kesekian kalinya aku dibuat menjadi bingung oleh pertentangan Intuisi dan Logika, akhirnya aku memutuskan untuk meminta pendapat pada seorang teman yang kebetulan dekat dengan Lara dan sering mengulik curhatan Lara tentang cinta.

"Bang, jadi gini. . ." kemudian ia berucap dengan meyakinkan. "Lara tu sebenarnya lagi nungguin seseorang untuk nyatain rasa cinta ke dia!"
"Ah kalo ngomong suka ngaco lo." sambutku tak percaya
"Dan percaya atau nggak, orang yang dia tunggu adalah lo, Bang!" lalu ia melanjutkan "kemarin pas disekolahan gue nanya kenapa balik lagi ke kota nun jauh disana, terus dia bilang : Ya balik lah, lagian disini nggak ada jugakan orang yang nahan biar aku gak pergi!"
"Itu kan cuma candaan dia aja, Len..." ujarku.
"Gue belum selasai ngomong, lo malah motong duluan kayak Syailentino Rossi"
"Valentino... ." pekikku jengkel karena ulah Lendra yang suka becanda
Lalu Lendara melanjutkan. "Gimana kalau bang Wira yang nahan? Terus ngelamar kak Lara? Gimana hayooooooo!!!! Tau apa jawaban Lara Bang?"
"Emang apaan?" semakin penasaran.

Berbekal obrolan dengan Lendra hari itu, entah hasutan atau penyemangat yang pasti telah membulatkan tekadku untuk mengungkapkan apa yang selama ini kurasa. Seminggu sebelum keberangkatannya aku memberanikan diri mengutarakan niatku menyatakan hastrat bahkan keinginanku untuk meminangnya. Peristiwa dini hari itu, telah membuat semuanya berubah. . .

"Hallo..." suara lirih diujung telpon membuatku grogi
"Hallo lara, udah tidur kamu?" kumulai dengan basa-basi
"Belum, ini baru aja abis ngoreksi tugas anak-anak tadi siang" ucapnya
"Oh, kirain udah tidur." Ujarku kemudian "sorry, agak sedikit mengganggu tugasnya."
"Ah, nggak kok. " Lalu ia menanyai maksudku. "Ada apa Wir, tumben nelpon jam segini?"
"Jadi gini, Ra" sambil meyakinkan hati dengan menghela nafas
"Apaan?" lara memotong "kayaknya penting ini. . ."
"Asli, penting bangat, Ra!" mulai deg- deg-an.
"Maksudnya?" antara bingung atau pura-pura bingung.
"Besok abis ashar ketemuan yuk, aku tunggu di tempat biasa, ya." Ku urungkan niat untuk nyatakan rasa (soalnya suasana keburu dingin ditambah lagi perasaan yang semakin membuatku grogi).
"Insya Allah ya, Wir. Emang mesti besok, omongin aja sekarang" Sahutnya di ujung telpon.
"Udah, Pokoknya besok aku tunggu kamu di tempat biasa" Sedikit memaksa.
"Kamu tuh ya, paling bisa ngebuat orang penasaran. Padahal yang di omongin besok paling cuma ide-ide konyol kamu kan." Sahut Lara dengan meledek.
"Sotoy, udahan dulu ya. sampai besok" Ku akhiri percakapan.

Diantara rasa hati yang bercampur aduk menjadi satu, perasaanku semakin meringkih karena apa yang terpendam selama ini mestinya telah terungkapkan tapi harus kembali ku redam. Sambil menenangkan diri dan mencoba untuk positif thinking terhadap sesuatu yang akan terjadi selanjutnya, ada rasa yang tak bisa ku jelaskan hadir tiba-tiba dan itu cukup membuatku termenung lama memikirkan. Dalam diamku itu, hati sibuk menerka apa yang akan terjadi selanjutnya, sedang pikirku dengan cepat mensugest hal-hal negatif sehingga membuat halu menguasai jiwa dan raga. Waktu rasanya inginku hentikan sejenak, agar esok pagi tak cepat-cepat datang sebab rasa takut telah menggerogoti keyakinan yang semula begitu besar, berubah menjadi ciut, mukaku kecut, hatiku berasa nyat-nyit-nyut, suasana sekejap menjadi begitu mencekam dan rasanya aku ingin menyerah pada keadaan, sekelebat terucap tanpa sadar "Entah siapa yang akan bertahan, Rasa yang terpendam atau hancurnya sebuah persahabatan".

Abadi Laraku (Sebuah Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang