Entah apa yang terjadi padaku dan Lara sebentar lagi, aku sudah tak peduli. Niatku sudah bulat, bertemu lalu mengungkapkan apa yang seharusnya di ungkap. Semua perasaan takut yang menghampiriku tadi malam sudah berlalu dan aku harus fokus pada tujuanku, menyatakan perasaan pada Lara dan apapun jawabannya, itu bukanlah sebuah tragedi tapi hanya sebuah konsekuensi. Pikirku, dari pada sakit memendam rasa lebih baik patah oleh kenyataan, setidaknya aku akan menerima dua kemungkinan "Penerimaan atau penolakan" dan lebih dari itu aku akan bebas, lepas dan yang paling penting aku tak ingin mempercundangi diri dihadapan cinta.
Langit sore masih biru dengan awan yang muai membentuk senja, tempat favorit Lara sudah lebih dulu ku datangi. Sembari menunggu, ku rasakan deru air yang mengaliri sungai dan seketika gugup mulai datang menghampiri, tapi kali ini ia takkan bisa menguasai sebab ku tahu itu hanya kerikil kecil yang selalu usil. Dalam hati ku menghardik " Hey, jangan halangi aku dengan segala prasangka negatif, sebab hari ini kau tak akan ku biarkan menjamah pikiranku" nuansa sore kembali mengalihkan perasaan hingga suara alam kembali dapat ku nikmati. Tak lama kemudian, sosok Lara datang di ujung pandangan menghampiri dengan melambaikan tangan dari kejauhan, lambaian itu hanya ku balas dengan senyuman.
"Hai, Udah lama nunggu, ya?" Lara menyapaku lebih dulu.
"Lumayan, tapi apalah arti menunggu bila bisa di tuntaskan dengan temu." jawabku menggoda.
"Selalu, bukan pujangga bila tak keluar kata-kata rayu." Balasnya menuduh
"Ah sudah lah, itu hanya sebuah pengantar agar suasana tak mudah kaku." Ku masih dengan tingkah konyolku.
"Masih mau berbasa-basi denganku, atau aku lekas pergi supaya kau menyesali perbuatanmu?" Ia menghentikan gombalanku.
"Iya deh, ampun. Tuh ada kuaci sama bunga matahari, bukannya kemarin kamu nyari bunga matahari untuk jadi objek foto?" Ku alihkan perbincangan dengan cemilan dan bunga kesukaannya.
"Wir, jangan bilang kamu sengaja pesan bunga matahari buat aku!" Raut wajah bahagianya terpancar saat melihat bunga matahari yang ku bawa.
"Emang iya, dan biar ku tebak, pasti abis ini kamu bilang makasih ke aku lalu, bilang ke aku untuk berhenti maksain buat kamu bahagiakan?" Sahutku dengan santai.
"Bisa gak sih, jangan nambah kebaikan sama aku. Nanti aku repot ngebalasnya." Lara kembali menyela.
"Aku tuh, hanya ingin belajar baik, Ra. Bukankah yang ngebalas kebaikan itu adalah Tuhan?" Sembari tersenyumSelalu begitu, akan selalu ada hal-hal yang membuat pertemuan kami menjadi hangat oleh tingkah lucu antara aku dan Lara. Sampai hari ini, mungkin itu salah satu yang membuat keakraban selalu terjalin utuh. Tapi sebentar lagi semua kemungkinan bisa saja terjadi dan tergantung bagaimana aku dan Lara menyikapinya dan aku masih optimis dengan hasil yang akan ku ketahui sebentar lagi.
"Be te we, Ide aneh apalagi yang akan saya dengar sore ini?" Lara kembali memulai.
"Sebenarnya lebih dari aneh sih, Ra. Mungkin kali ini bisa di bilang ide gila." Aku mulai serius
"Oke, siap jadi pendengar yang baik." Timpalnya
"Jadi gini, Ra." Mulaiku "Kamu masih ingatkan tentang Mawar yang pernah jadi teman diskusi saat nyari bahan short video yang kamu buat untuk malam puncak 17 agustus?"
"Hm, ingat. Terus apa yang harus kita perbuat dengan mawar itu?" Dia mulai penasaran.
"Sebenarnya sih, bukan tentang itu, Ra. Tapi lebih kepada bagaimana cara kamu memperlakukan mawar itu sih." Mulai mengutarakan niat
"Maksudnya?" Lara mulai bingung.
"Jadi gini, Ra. Tapi kamu janji dulu untuk dengarin penjelasanku sampai tuntas!!" Ku coba meyakinkan.
"Iya, JANJI."Kemudian aku perlahan mencoba menjelaskan maksud dan tujuanku sore itu. Sejurus kemudian, perasaan gugup kembali datang air muka ku mulai berubah, tapi aku tetap kekeh pada pendirianku sejak awal.
"Ra, mungkin kamu tahu tingkatan rasa terhadap sesuatu. Jika kamu hanya sekedar suka pada mawar, pasti mawarnya udah kamu petik dan kamu simpan di kamar kamu, aku tahu kamu bukan hanya suka, tapi lebih dari itu dan kamu adalah salah satu dari pengagum bunga mawar sehingga kau hanya ingin menikmati pesonanya tapi dengan cara tidak merusak keindahannya. Nah, kamu pasti tahu ada yang lebih dari sekedar kagum, tentu saja suka. Karena suka, seseorang akan merawat mawar yang ia lihat dan berusaha memeliharanya agar tumbuh subur dan menjadi kelopak bunga yang indah. Pun dengan perasaanku ke kamu. . ."
Sebelum aku melanjutkan ucapanku, tiba-tiba Lara menghentikan ucapanku dan dengan nada curiga ia berucap.
"Hey, Wir. Kamu kenapa, kok ngomongnya ngelantur gini sih?"Lalu ku melanjutkan ucapan uang sempat tertunda tanpa menghiraukan ucapan Lara.
"Aku suka sama kamu, Ra. Itu udah berlangsung sejak kita semakin akrab dan aku tahu kamu pasti gak suka dengar ini, tapi itulah kenyataannya, Ra. Aku pengen jadi orang pertama yang tahu senang dan sedihnya kamu setiap saat, aku pengen jadi manusia pertama yang jamu ucapin selamat pagi saat aku bangun tidur, dan aku pengen kamu jadi alasan atas hidup dan bahagiaku, Ra."Dan, saat yang paling tidak di inginkan itu tiba. Wajah Lara memerah, nada bicaranya mulai lantang dan aku tahu persis kekecewaan yang Lara rasakan. Kemudian kata murka uang paling ku takutkan keluar dari ucapan Lara.
"Oh, jadi ini alasan kamu baik sama aku? Ini motif dari persahabatan yang aku kira lebih dari segalanya. Kamu tuh jahat ya, Wir. Tega ngelakuin ini sama aku, aku gak nyangka kalo kamu sepicik ini, rela ngorbanin persahabatan demi ego yang kamu anggap cinta. Kita selesai, Wir, sekarang dan selamanya. Makasih atas kebaikan kamu ke aku dan makasih atas semuanya. Maaf gak bisa bisa nyenangin ego kamu, aku benci kamu, Wir."
Lara meninggalkanku dengan segala murkanya, aku tahu tangis yang ia bawa saat pergi dariku adalah air mata sedih dan kecewa yang sebenarnya tak pernah aku inginkan. Dan, aku luka oleh perasaanku sendiri, aku di sakiti oleh prasangka yang ku buat sendiri, pada akhirnya air mata adalah tempat paling menenangkan untuk meredam segala emosi, sambil berjalan gontai aku pulang dengan segala haru yang membelenggu.
Malam datang dengan menghadirkan segala tanya, pun dengan hujan yang melengkapi nuansa sendu setelah pertemuanku dan lara tadi sore. Rasanya, aku masih belum percaya dengan apa yang telah terjadi, sepertinya persahabatanku dan Lara akan segera menemui kata usai. Aku semakin larut oleh aroma hujan yang mengiringi kepedihan yang sedang kurasakan, jauh di dalam benak ada kata yang seolah terngiang dan itu sangat menjenkelkan "Sudah jatuh tertimpa tangga, cinta tak berbalas persahabatan nampaknya akan segera kandas". Dalam keadaan bingung, terdengar notif pesan WA di kejauhan, aku bergegas dan pesan itu dari Lara.
"Mungkin ini pesan terakhir yang aku kirim ke kamu, Aku udah tahu sejahat apa kamu sama aku, aku juga udah ngerti bahwa kamu gak pernah berfikir dewasa tentang hal-hal yang seharusnya gak ngerusak hubungan kita, mulai hari ini aku akan hapus semua tentang kamu dan anggap aja aku gak pernah hadir dalam kehidupan kamu. Satu hal, Wir, aku nyesal udah kenal sama kamu. Jangan coba-coba nyari tahu tentang aku, dan aku udah mutusin buat balik ke tempat dimana seharusnya aku berada."
Lengkap sudah penderitaanku, semuanya benar-benar hancur dalam sehari. Dan aku hanya bisa pasrah dengan keadaan dan berharap ada keajaiban yang bisa merubah semua kejadian, hanya satu yang bisa sedikit menguatkanku yaitu rasa lega atas apa yang selama ini terpendam, dan lagi, aku memang kalah tapi sebagai pahlawan bukan pecundang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abadi Laraku (Sebuah Cerpen)
RomanceJika hidup tentang penantian maka, aku sudah berada di jalur yang benar sebab, bagiku cukuplah kesementaraan dunia menahan bahagiaku dengan mu. Jika hidup tentang bertahan maka, aku salah satu dari beberapa orang yang hingga saat ini masih menggengg...