Letter 09

34 12 4
                                    

“AKU SUDAH TIDAK MENCINTAIMU! SUDAH KUURUS SURAT PERCERAIAN! KAU TINGGAL MENANDATANGANINYA!”




“BAIKLAH! LAGIPULA AKU JUGA SUDAH TIDAK MEMBUTUHKANMU! PRIA SIALAN!”




“DASAR WANITA JALANG! JIKA BUKAN KARENA KAU MENGANDUNG ANAKKU, WAKTU ITU AKU TIDAK AKAN PERNAH MENIKAHIMU!”




“AKU AKAN MENGURUS HAK ASUH JESSICA! KARENA AKU IBUNYA, AKU YANG MELAHIRKANNYA!”




“TIDAK BISA! AKU AYAHNYA! AKU YANG MENANGGUNG KEBUTUHAN FINANSIALNYA SELAMA INI!”




Mengunci pintu rapat-rapat, saat kedua suara teriakan itu saling bersahutan. Aku sudah tidak tahan lagi dengan perdebatan ayah dan ibu. Mereka akan segera bercerai, namun saat membahas hak asuh... Membuatku bimbang. Aku tidak tahu ingin ikut kepada siapa. Kepada ayah atau ibu?




Aku tidak tahu persis permasalahannya bermulai dari mana. Dulu, yang kulihat ayah dan ibu saling mencintai. Namun, sudah hampir satu tahun ini aku melihat ayah dan ibu selalu pulang larut malam. Tidur di kamar yang terpisah, dan bahkan ada kalanya dimana mereka tidak pernah pulang ke rumah ini.




Sampai aku membuntuti ibu dan ternyata menemukannya di tempat terkutuk itu. Dan membuat orang-orang salah paham terhadapku. Lalu, betapa terkejutnya aku saat diam-diam mengikuti ayah... Ia sudah menikah dengan wanita lain selain ibu, dan memiliki anak dari wanita itu.




Rasanya seakan ada ribuan benda tajam yang menghujam jantungku. Sangat sakit sampai aku ingin mati saja.




Aku mengusap air mata yang entah sejak kapan menetes, kemudian beralih menuju laci dan meraih amplop surat yang belum sempat kubaca.




“Aku mengerti suasana hatimu saat ini sedang sangat sedih. Kau pasti sangat terluka.

Tapi setidaknya, tersenyumlah seperti dulu. Aku juga akan merasa sedih jika kau selalu murung.

Ngomong-ngomong, makanlah coklat yang kukirim untukmu. Mungkin dengan memakan itu, suasana hatimu akan menjadi lebih baik(?)

Keep your smile, sweetie.”




Menarik sudut bibirku perlahan, surat-suratmu memang selalu bisa menggerakkan hatiku. Selalu bisa membuatku tersenyum.




“Baiklah. Akan kulakukan, aku sudah tersenyum kembali.

Coklatnya sangat lezat, ini kesukaanku. Bagaimana kau bisa tahu?

Oh aku lupa, bukankah kau memang tahu segalanya tentangku? Hahaha.

Dan ya... tak ada kata lain lagi selain terima kasihku kepadamu. Kau membuat suasana hatiku menjadi lebih baik.”








Letters (Lian Huaiwei) [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang