Hari ini bertepatan dengan peristiwa satu tahun lalu. Di mana peristiwa itu mereka namakan peristiwa berdarah.
Kala ini, Carlen dan Galen akan mengunjungi makam mereka. Makam orang yang gugur di peristiwa berdarah itu.
"Apa mereka telah tenang?" tanya Galen tersenyum miris tatkala mengingat peristiwa tersebut.
"Hm, mati bukan berarti telah tenang, masalah telah selesai. Tidak! Justru mati akan mengantarkan kita pada kehidupan selanjutnya. Kehidupan di mana kita akan kekal selamanya di sana. Namun, sebelum itu terjadi, kita harus melewati beberapa fase lagi. Jika amalan kita kurang, maka akan jauh lebih sakit dan pedih daripada hidup di dunia," terang Carlen pada Galen yang kini terlihat mengangguk-ngangguk.
"Artinya kita harus tetap bersyukur selagi masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia, ya?" tanya Galen antusias.
"Hm, ya. Selagi kesempatan itu masih ada, gunakanlah sebaik yang kau bisa. Bunuh diri bukan penyelesaian akhir. Kau tetap tidak akan tenang. Baik di dunia ataupun di alam sana," ujar Carlen bijak sekali.
"Lantas bagaimana jika dia tidak bunuh diri, tetapi hidup dengan rasa sakit yang membelenggu? Bagaimana dia mengakhiri sakit hatinya itu?" Galen bertanya lagi. Dia seperti tak puas jika hanya sedikit yang dibahas.
"Tentu lebih baik hidup dengan rasa sakit yang membelenggu dirimu, daripada harus bunuh diri. Mengakhiri rasa sakit ini adalah perihal waktu," jawab Carlen sendu.
"Waktu? Jelaskan yang lebih rincinya," pinta Galen yang tak bisa ditolaknya.
"Merepotkan," dengkus Carlen. Namun, tak ayal dia tetap kembali menjelaskan.
"Waktu bukanlah mengajarkan kita untuk mengobati luka. Namun, waktu akan memberi pelajaran, bahwa setiap luka tak semuanya bisa kita sembuhkan. Ada kalanya, kita hanya bisa mengubur dalam-dalam luka itu. Cukup pasrahkan diri kepada Tuhanmu, biarkanlah dia yang mengganti rasa sakitmu menjadi rasa bahagia yang tak terduga, bahkan tak pernah terlintas di benakmu."
Carlen mengakhiri kalimatnya dengan sebuah senyuman tulus. Sebuah senyuman yang memberi isyarat bahwa hidup harus bisa berdampingan dengan tabah, agar dirimu tak mudah goyah.
"Wah, detektif Carlen sekarang bijak sekali," puji Galen dengan binar yang sangat kentara di netranya.
Carlen kembali mendengkus. "Sudah cukup. Ayo, kita kunjungi makam mereka!" ajak Carlen pada Galen.
Mereka berjalan menyusuri area pemakaman ini. Hingga akhirnya, mereka tiba di sebuah nisan yang bernama Aldo Navindra dan Reno Navindra.
****
Satu tahun lalu ....
"Ini semua sungguhlah tak terduga," ucap Aldo yang tak memiliki semangat hidup lagi.
Pandangan Aldo tiba-tiba kosong, dia seperti sedang cosplay menjadi mayat hidup saja. Benar-benar pucat.
Entah mengapa mereka bisa lengah, hingga pistol itu berada di tangan Aldo. Senjata api tersebut pun diarah ke kepalanya sendiri, lalu ditariknya pelatuk itu hingga darah mengucur deras dan isi kepalan mulai berceceran.
Otaknya melesat keluar dari kepala, membuat Aldo langsung jatuh, terbaring tak sadarkan diri. Ya, Aldo sekarat, dia memilih mati, daripada hidup dengan rasa yang menusuk hati.
Semua terlalu cepat dan terlampau kaget atas ulah Aldo tadi. Reno yang tak terima ditinggal sendiri, juga ikut menembak kepalanya agar segera menyusul sang adik.
Semangat hidup Reno adalah Aldo, jika Aldo memilih mengakhiri hidup dan meninggalkannya. Lantas, apa lagi yang perlu dia pertahankan? Jika cintanya saja pergi meninggalkan. Dia tak bisa ditinggal sendiri. Dia terlalu takut sendirian menghadapi keras dan kejamnya dunia ini. Oleh karena itu, dia memilih bunuh diri mengikuti jejak sang adik yang begitu dicintainya.
Carlen dan Galen tak lantas sigap. Itu pertama kalinya bagi mereka kecolongan. Namun, apalah daya mereka yang hanya manusia biasa, pasti pernah berbuat dosa. Mereka tak mampu mencegah, semuanya terlalu cepat. Hingga akhirnya, mereka hanya bisa bersimpuh di depan makam kakak beradik itu karena tak mampu menyelamatkan mereka. Pun mereka hanya bisa memohon ampunan kepada Tuhan.
*****
Balas dendam hanya akan berakhir penyesalan. Tak akan ada akhir yang bahagia.
Akhir yang tak terduga hanya akan membuat luka kian menganga. Inilah akhir dari cerita Impredecible.
Demikian epilog ini saya buat, semoga kalian puas. Petiklah hal-hal positifnya, singkirkan hal-hal yang negatif.
Menurut kalian cerita ini bagaimana?
Oh, iya. Cinta Reno ke Aldo itu, pure sebatas cinta kakak ke adik, ya. Cinta itu tak hanya untuk sepasang kekasih, bukan? Keluarga pun ada.
Maafkan khilaf dan kesalahan saya, ya. Terima kasih yang sudah mau membaca cerita saya dari awal hingga akhir. Salam dari saya, @arunika27
KAMU SEDANG MEMBACA
Impredecible
Mystery / ThrillerDeskripsi: Aldo Navindra, seorang mahasiswa semester 7 dari fakultas bisnis. Saat ini, dia mengalami koma, akibat kecelakaan nahas yang hampir merenggut nyawanya. Seusai bangun, dia malah mendapati dirinya terkena amnesia retrograde. Sungguh mimpi...