4. Janggal

19 13 30
                                    

Selepas Reno pergi, Aldo kembali memikirkan Raina. Dia merasa janggal dengan pacarnya ini. Tak biasanya Raina seperti ini.

"Lo di mana, sih, Ren?" Aldo merasa frustrasi.

Aldo sibuk memikirkan Raina, hingga tak menyadari suasana terasa hening dan agak mencekam. Terlihat ada sosok misterius yang berjalan di koridor yang mengarah ke ruangan Aldo. Tak ada yang tahu, apa yang diinginkan sosok itu. Namun, dia terlihat mengerikan.

****

"Argh! Apa saja yang telah gue lewatkan?! Kenapa semua ini sungguh membingungkan?" Aldo meraung-raung.

Dia mencoba mengingat semuanya, tapi sia-sia, tak ada yang dapat digali dalam memorinya. Sakit, itulah yang dirasakan Aldo saat ia memaksa otaknya untuk mengingat.

"Argh! Shh!" ringis Aldo kesakitan. Kepalanya terasa ingin pecah. Sungguh sakit sekali, dia tak kuat. Di saat seperti ini, Aldo sangat menyesal berbuat acuh tak acuh terhadap Reno, kakaknya.

"Kenapa lo harus kelaparan di saat gini, sih? Aw! Ish!" tanya Aldo disertai ringisannya.

"Si-siapapun, to-tolong gue," lirih Aldo sebelum jatuh pingsan.

Di luar sana, lebih tepatnya di depan ruangan Aldo, berdiri sesosok manusia yang melihat Aldo dengan tatapan bengis. Dia membiarkan saja Aldo kesakitan seperti itu, dia seperti ... tak peduli atau malah senang? Entahlah.

Sosok itu mendekat, ingin membuka pintu yang menjadi penghalangnya menuju Aldo. Sosok itu terlihat tenang, sangat tenang, hingga suara pintu terbuka pun tak terdengar. Gerakannya begitu halus.

Dia berjalan ke arah Aldo seraya mengeluarkan benda yang terlihat sangat tajam. Raut wajahnya begitu tenang, tetapi netranya tak bisa berbohong, di sana terdapat amarah yang membara, seolah-olah Aldo adalah mangsanya.

"Kita bertemu lagi, Aldo," tutur sosok itu seraya menyeringai.

"Sepertinya menyenangkan, jika kita bermain-main terlebih dahulu, Aldo Navindra," ucap sosok itu sembari mengiris pelan leher Aldo.

"Rasanya tak mantap, jika hanya sedikit, ya? Hahaha!" Sosok itu mulai membentuk seninya di sekujur tubuh Aldo.

Aldo yang pingsan, tak tahu apa-apa. Dia tak tahu jika darah telah mengalir di beberapa bagian tubuhnya, seperti leher, pipi, dan tangan.

"Sepertinya lo beruntung kali ini. Sebenarnya aku belum puas, tapi tak apa. Kita masih bisa bermain lagi, kan, Aldo?" Sosok itu berujar santai dan tenang, seakan-akan 'bermain' yang dimaksudnya memanglah hal yang menyenangkan.

"Sampai jumpa, Aldo. Aku bakalan kangen bermain sama kamu. Hahaha!"
Sosok itu berhenti tertawa setelah mendengar gedoran di pintu.

Brak!

Pintu terbuka menampakkan sosok Reno yang terlihat cemas. Dia begitu panik saat pintunya tak bisa terbuka.

Tak ada siapapun kecuali Aldo di ruangan itu. Dia takut terjadi sesuatu pada Aldo.

"Aldo!" jerit Reno yang langsung tersimpuh, tatkala melihat banyak darah yang bercucuran dari tubuh Aldo.

Reno segera memencet tombol di samping tempat tidur Aldo. Tangannya bergetar, dia sungguh tak kuasa melihat adiknya seperti ini.

Reno masih bergetar sembari memberikan pertolongan sebisanya.  Reno mulai membersihkan darah-darah yang tengah mengucur deras itu.

"Kenapa mereka lama sekali datangnya?!" Reno tak bisa bersabar di saat seperti ini. Kembali dipencetnya tombol itu, berkali-kali hingga tempat tidur Aldo bergetar karenanya.

"Al-Aldo, gue mohon bertahanlah." Reno berbisik lirih.

Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki yang tergesa-gesa. Muncullah sosok yang ditunggu-tunggu Reno.

"Kenapa lama sekali, Hah?! Adik gue bisa saja mati kehabisan darah!" bentak Reno kepada Dokter Haris dan perawatnya.

"Maaf---" Belum selesai Dokter Haris berkata, Reno langsung memotongnya.

"Awas aja kalau adik gue kenapa-napa! Gue bisa tuntut rumah sakit ini karena lalai!" ancam Reno yang sangat geram.

"Ba-baik, Pak," jawab Dokter Haris tergagap. Nasibnya sedang dipertaruhkan di sini.

"Tunggu apa lagi? Cepat!" sentak Reno seraya berjalan ke luar.

Reno menunggu dengan gusar. Apa yang sebenarnya terjadi pada Aldo?

~TBC~

Jangan lupa votmennya, ya. Terima kasih.

ImpredecibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang