𝟬𝟯.

198 16 4
                                    

Hujan rintik–rintik aku masih ingat betul bagaimana saat itu hatiku rasanya sangat pelik. Seseorang menghampiri ku lantas menepuk bahu seraya tersenyum dan menegur, “ku dengar katanya kau dan Asa sudah selesai?” mendengar kata selesai yang wanita ini ucapkan saja rasanya sudah hampir membuatku sebal. Sebagian orang bisa saja mengatakan dengan mudah namun aku masih belum terbiasa apalagi kalau itu keluar dari mulutnya. “Iya. Itu sudah jadi cerita lama.” Ah, sial. Seharusnya dirimu itu paham bagaimana kisah kami bisa berakhir begini. Wanita ini benar-benar sama sekali tak punya hati maunya selalu ingin mengambil hak milik orang lain.

Andai, aku tak mengenalkannya apa mungkin semua takkan terjadi seperti ini? Aku adalah titik koma sementara dia, selalu menjadi sudut pandang orang ketiga.

“Sedari dulu kau selalu mengatakan ingin putus dengan Asa. Kupikir itu hanya bualan saja tapi aku ingin mengatakan ini, sebenarnya—aku dan Asa juga sudah memulai sejak lama.” Nada bicaranya terdengar sedang menyombongkan. Hatiku berdesir terasa sangat sakit, terucap kata memulai berarti mereka tengah berpacaran. “Tapi itu juga sudah jadi cerita lama.”

Ah, sial. Rupanya aku baru saja tersadar jika dia adalah laki–laki yang keterlaluan. Namun aku tak ingin salah paham dan lebih baik diam lagipula, untuk apa aku meminta penjelasan sedangkan hubungan kami sudah selesai. Meski ada sedikit rasa yang tertinggal tidak mungkin aku membuang rasa malu hanya untuk memastikan.

“Lalu? Itu juga bukan masalahku. Untuk apa kau mengatakannya kepadaku?!” Aku menggerutu sambil menatap sinis ke arahnya. Sedari dulu aku ingin sekali melakukan ini akan tetapi, niat tersebut selalu berakhir ku urungkan ribuan kali.

Terlihat bagaimana gelagatnya merasa di tantang padahal aku hanya bersikap sebagai mana mestinya. Tapi, reaksinya sudah berlebihan. Dia pikir perlakuan kurang ajar yang dirinya lakukan tanpa sadar akan tetap di biarkan. Lihatlah si Lia ini, betapa menyedihkannya wanita itu.

“Seharusnya kau cemburu, bahkan kami berpacaran setelah beberapa bulan kalian putus!”

“Dengar, ya. Tidak elit mengambil hak milik orang lain dengan cara kotormu itu.” Bisikku pelan di telinganya.

“Dan dengar juga baik–baik. Mulutmu itu minta di sumpal pakai lakban atau yang lainnya? Kau pikir hanya karena orang tuamu terpandang—kau bisa melakukan seenaknya saja. Atau merebut hak milik orang lain sesukanya. Dengar ya, Lia. Aku dan Asa sudah selesai mau kau pacaran dengan dia sekalipun. Kenyataannya—itu bukan masalahku! Meski kau berpikirnya begitu, sih.”

Aku mengatakannya dengan lantang lantas meninggalkan sedari dulu aku sangat ingin mengatakan ini. Akan tetapi, bukannya aku tak punya keberanian sama sekali. Tapi aku memilih waktu yang tepat untuk meledakkan amarah. Walau aku mengatakannya tak masalah, entah mengapa. Hatiku merasa tak lera aku merasa Asa tak seharusnya memulai sebuah hubungan bersama dengan Lia.

Tiba–tiba air mataku meluruh begitu saja aku berusaha menghapusnya namun apalah daya. Aku sudah menahannya, bahkan ketika aku mengucapkan kata putus kepada Asa. Aku tak menangis seperti yang lainnya. Tapi tiba-tiba juga seseorang menyodorkan sapu tangan, sapu tangan bermotif bunga berwarna pink pastel kepadaku.

Lantas aku menerimanya tanpa menatap wajahnya untuk memastikan siapa dia, aku hanya sibuk mengelap air mata karena malu sudah di pergoki begini. Akan tetapi dia mulai bersuara dan aku kenal ini suara siapa.

“Mau sampai kapan kau akan menghindar?”

Ah, sial. Takdir kembali mempertemukan kita yang pada akhirnya membuatku gagal tuk melupa. Andai kau paham, aku hanya ingin terlepas dari belenggu masa lalu yang mengikat hatiku.

“Asa ... kutarik lagi perkataanku waktu itu yang berkata aku masih menyukaimu. Pergi dari hadapanku sekarang, ah. Rasanya aku ingin mengumpat dengan suara yang kencang tapi masalahnya—aku tak punya keberanian. Kau berpacaran dengan Lia ‘kan? Kenapa harus dengan dia, kenapa dari banyaknya manusia kau memilih dia. Sial, sebenarnya ini bukan masalahku tapi. Aku ingin mengatakan beberapa kalimat yang sebelumnya tak pernah tersampaikan. Aku kesal, Asa. Tapi nadaku tercekat begitu saja aku marah ku pikir melepasmu adalah jalan ninjaku.”

Laki–laki itu terdiam dan hanya menatap mataku dengan tatapan penuh tanya. Oh, Asa. Kenapa tatapan itu yang kau perlihatkan di depanku?

“Dulu, aku ingin sekali menahanmu. Aku—berharap hanya aku yang memilikimu. Tapi, sepertinya takdir punya rencana yang tak di sangka–sangka. Asa, terima kasih ya? Karena sempat menjadi bagian dari duniaku yang terkesan biasa–biasa saja. Bukan dirimu yang membuatku terluka, tapi aku yang membuatmu mengalami beberapa trauma.”

“Apa maksudmu aku berpacaran dengan Lia? Kau dengar dari siapa kutanya?”

Sejenak aku pun tersenyum, kutatap matanya dengan teduh.

“Dia yang mengatakannya sendiri, dulu pun aku sudah mendengar banyak omong kosong dari orang–orang yang mengatakan kalau kalian punya hubungan di belakangku. Tapi, aku menyangkalnya karena kau pacarku. Aku tahu ini mungkin sudah sangat terlambat, dan aku bisa mengerti kau pasti mengganggapnya kekanakan. Tapi, Asa. Apa kau pernah bertanya sebesar apa rasa sukaku kepadamu itu?” Lalu ku tangkup wajahnya mungkin aku sudah kehilangan akal, sebab. Aku langsung mencium bibirnya. Sambil menangis aku pun berkata, “aku ingin memberikan ciuman pertamaku kepadamu. Jadi dengan ini, ku pastikan aku ...  bisa melepasmu pergi.”

Tapi aku tak sanggup melakukan itu lalu aku membuang muka seolah-olah tak terjadi apa–apa. Namanya, Asa. Sama seperti asa yang tiada henti-hentinya ku harapkan adanya sebuah keajaiban dari sang Kuasa.

“Maafkan aku,” ucapnya.

Aku tak menoleh sedikitpun bukan karena aku sengaja mengabaikan hanya saja aku kurang paham, dan memilih untuk diam. “Maaf karena ku pikir ini adalah cara yang adil. Ku pikir, memang sudah seharusnya kau juga merasakan hal yang sama sepertiku. Tapi aku salah ternyata menyakitimu ... sebenarnya bukan tujuanku. Aku tak serius melakukan itu.”

“Kenapa caramu tidak ada jauhnya dengan hewan. Kau berniat untuk balas dendam tapi tak apa memang sudah seharusnya, Asa. Jangan salahkan dirimu cukup fokuslah tuk membenci diriku hanya itu tugasmu.”

Karena memang yang seharusnya sudah lama berhenti, tidak perlu dipaksakan untuk terus berjalan lagi.

BERSAMBUNG

Ruang sendu, 19 Agustus 2024

𝗞𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗞𝗮𝗹𝗶𝗺𝗮𝘁 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗧𝗮𝗸 𝗧𝗲𝗿𝘀𝗮𝗺𝗽𝗮𝗶𝗸𝗮𝗻 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang