𝟬𝟲 | 𝘀𝗲𝗮𝘀𝗼𝗻 𝟮

15 0 0
                                    

Langit masih sangat terang meski adzan magrib sudah berkumandang bohlam–bohlam lampu menyala di pinggir jalan. Aku sudah lama memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan yang membuatku semakin tertekan karena atasan. Saat itu, langkahku terasa kaku lalu. Aku pun memutuskan untuk berhenti sejenak gelak tawa terdengar di telinga setelah adzan isya selesai. Bintang-bintang kembali memancarkan sinar membuat ku teringat kepada suatu masa, saat-saat kita masih bersama. Canda dan tawa terngiang-ngiang di kepala membuatku selalu ingin mengenangnya.

Andaikan kata kita masih bersama, bagaimana, ya. Ceritanya.

Namun, ini masih tentang kamu. Tentang dirimu yang berhasil menguasai isi pikiran ku. Juga tentang busur waktu yang selalu buatku ingin segera memutar kembali ke masa lalu.

Aku tak pandai mencintai wajar saja bila aku tak bisa menerima cinta dan malah mengusir seorang pemberi cinta itu tadi. Tetapi caramu berbeda seperti mereka kau masih mau berjuang tanpa bosan, dan memperkenalkan banyak hal. Hari ini aku sedang menunggu manga bulanan diterbitkan menunggu itu sama halnya dengan waktu. Selama apapun itu bila tujuanku hanya satu, aku masih akan tetap di sana tanpa berniat untuk bergerak mundur sedikit pun.

Lalu, kala itu. Dengan gagah berani aku mengatakan sesuatu kepadamu namun, hanya dengan membalas memakai senyum. Kau tak membalas perasaanku sedikit pun entah itu karena sudah beda cerita, atau jangan–jangan kau sudah temukan seorang pengganti kekosongan di hati. Caramu masih sama, tapi sikapmu yang berusaha menjauh buat ku terluka. Oh, Asa. Jadi sudah mencapai masanya, ya. Masa di mana kita sama-sama mulai memanggil nama dengan nada formal seperti orang yang baru kenal.

Meski pada akhirnya kita kembali dipertemukan dirimu masih menjadi seseorang yang ingin ku miliki seorang diri. Dengan kepergianmu itu tadi, berkali-kali aku jadi merayakan patah hati kesekian kali.

Dalam diam seringkali aku mengumbar ribuan pertanyaan, pertanyaan mengapa kisah kita yang berakhir percuma. Justru malah terkenang semakin lama. Kepadamu, sang tuan. Aku sudah berusaha untuk melupa sayangnya—aku sudah terlanjur terjebak pada derasnya hujan. Sehingga aku menjadi tak kuasa melakukan.

Dengan menganggu si kucing dua warna di kamar aku menghabiskan waktu yang sia–sia seperti hubungan kita. Walau sudah menjawab jujur kala itu, kesan mu terhadapku jadi lugu—kau canggung mengakui aku. Meski kau tahu tentang semua isi hati yang kumiliki saat ini. Entah itu di buat tak sengaja, atau jangan–jangan kau sengaja tak mau terlibat di dalamnya.

Cukup ku akui melepas mu bukan berarti aku berhenti, tetapi kali ini caraku yang  mencinta mu berbeda dari biasanya. Tanpa harus diketahui, aku mencintaimu dengan cara sembunyi–sembunyi. Supaya kau tak merugi apalagi terbebani dengan semua ini.

Sebab aku tahu bahwa kau sudah mengusirku pergi dengan hati–hati meski dengan cara yang seperti itu. Hatiku masih saja merasa sakit. Meski pun diriku tahu bahwa memaksa dan terpaksa tinggal tidak akan membuat satu sama lain merasa nyaman. Jadi, mulai sekarang. Aku putuskan  menerima tawaran untuk berjalan di jalan masing-masing.

Meski pun itu artinya—akan menjadi takdir yang tak terelakkan bagi diriku seorang. Dengan lapang, ku ucapkan selamat tinggal untuk kesekian, tuan.

Kepada dirimu yang terus menyalahkan diri sendiri dengan berakhirnya kisah ini. Jangan salahkan dirimu lagi. Juga kepada kisah yang telah berakhir aku sendirilah yang sudah menentukan ending. Bukannya mengikuti takdir, aku malah bermain hakim.

Untukmu seorang, sikapmu yang perlahan mengabaikan tampak mencuat. Meski di bibir terucap aku mengatakan tidak, hatiku terus menjawab dengan jujur sangat.

Jika diibaratkan kau pun seperti sebuah labirin tanpa akhir, meski sudah ku masuki sangat dalam. Tak kunjung kutemukan jalan keluar sama halnya dengan perasaan yang tertinggal yang jua menyampaikan sebuah kerinduan. Pulang ku tanpa adanya dirimu, seperti membuat ku tersesat di dalam hutan belantara.

Meski sekarang kau sudah tahu semua isi hati kau terus melangkah maju tanpa henti. Tanpa menoleh sama sekali. Kau seakan melepasku pergi, rasanya sakit sekali seperti sedang tercucuk duri. Aku sendirian di sini sembari mengobati luka hati yang bernanah lagi. Kasihan sekali.

To be continued

𝗞𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗞𝗮𝗹𝗶𝗺𝗮𝘁 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗧𝗮𝗸 𝗧𝗲𝗿𝘀𝗮𝗺𝗽𝗮𝗶𝗸𝗮𝗻 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang