Cahaya remang-remang aku kembali bangun di pukul setengah tujuh dini hari. Dengan nuansa yang masih sama, tak baik–baik saja. Tapi berusaha bernapas lega seperti tidak terjadi apa-apa. Hatiku masih belum terbiasa menelaah kata yang keluar dari mulut manusia. Sejenak ku ingin pinjam telinga guna mendengarku bercerita tapi entah mengapa nyatanya—diriku hanya jadi pendengar saja.
Malam jadi semakin cepat berlalu sementara bias matahari selalu datang pagi–pagi sekali. Barangkali, malam tadi aku terlalu lama mendengarkan isi kepala. Jadinya, waktu berlalu begitu saja dengan percuma.
Mungkin sudah lama aku tak lagi bercerita apalagi mencari tahu kabarnya bagaimana. Hari–harinya masih terlihat sama, dia masih ceria. Bahkan semakin bersinar setelah kami selesai. Sementara aku masih di balut dengan rasa penyesalan tanpa akhir karena melepas mu pergi hari itu. Benar. Lisan bisa berkata tidak tetapi hati mana bisa di bohongi semenjak kepergianmu yang menuruti kemauan waktu itu. Aku, terjebak ke dalam perasaan penuh sesal yang berkepanjangan.
Satu pesan yang tak terbalas datang darimu meski kisah kita telah lama berakhir kau masih menjadikanku seorang teman.
Mungkin kau terlalu basa-basi atau karena perasaanku yang belum berubah sama sekali. Membuatku jadi membatasi diri untuk tidak terlalu serius menanggapi. Setiap kali ada satu pesan masuk darimu yang sengaja kubiarkan saja tak lama, kau pun menghapusnya.
Lucu, ya. Bukannya aku tak suka di ajak bicara hanya saja. Aku sedang berusaha melerakan takdir yang sekiranya tak bisa ku terima dengan lapang dada. Bisa jadi kau malah salah sangka, dan merasa dirimu salah bicara. Padahal kenyataannya tidak demikian hanya saja—aku sedang memberikan sedikit batasan pada perasaan yang tertinggal sangat dalam, kepada diriku seorang.
Aku masih merapal beberapa harapan yang semoga bisa jadi kenyataan, harapan yang tidak berlebihan. Yaitu harapan dimana aku berharap dengan amat sangat agar dirimu kelak—di bahagiakan oleh orang yang tepat. Juga agar nantinya aku tak kembali ke jalan di mana aku tak menjadi benalu pada kehidupanmu itu.
Sungguh, merelakan takdir. Adalah momen yang sangat mudah dilakukan apalagi bila itu dilibatkan dengan waktu. Bahkan luka yang bernanah sekalipun, akan kering dan sembuh. Tapi cintaku padamu meskipun waktu sudah berlalu hatiku enggan berlabuh.
Asa. Kalau sekiranya kau merasa risih segeralah bicara padaku saja. Agar nantinya aku bisa melera, dan melupa. Yang ku tunggu adalah dirimu punya pengganti lebih dulu, yang ku tunggu ialah melihat dirimu bahagia meski tak bersama ku. Namun entah mengapa—aku tak sanggup menyaksikan semua itu. Nada bicaramu terdengar sangat candu, caramu yang sedang menasehati sungguh masih melekat dalam hati.
Semenjak kisah kita telah lama berakhir seakan waktu dalam hidupku berhenti berputar. Hatiku pun merasa demikian, entah itu karena berakhirnya kisah kita yang seharusnya belum selesai. Malah membuatnya ikut tak melerakan.
Saat kita kembali bertemu tatapanku berubah dingin padamu, aku sebenarnya tak ingin melakukan itu. Tetapi karena gengsi ku terlalu tinggi tanpa sadar aku bersikap seperti itu di depanmu.
Dalam hiruk-pikuknya kendaraan di tepi jalan sementara kita yang tak sengaja berpapasan di bahu jalan. Akhirnya memutuskan untuk melangkah berdampingan. Lantas karena tak saling bicara dirimu lah yang lebih dulu bertanya memecahkan keheningan kita. “Ulang tahunmu mau dihadiahkan apa? Tadi malam kira–kira Renjana tidur jam berapa, ya? Kayaknya insomnia mu parah juga.”
“Aku bukan penderita insomnia. Banyak K-drama dan anime yang belum sempat ku tonton. Jadi aku bergadang semalaman. Ulang tahunku masih lama nggak usah tanya mau dihadiahkan apa.”
Asa kemudian tertawa canggung setelah mendengar jawabanku mungkin itu karena bernada dingin. Dia berusaha menghangatkan suasana, berharap aku nyaman di buatnya. Padahal tanpa dirinya tahu sekalipun jantungku berdegup amat kencang tak karuan. Berdekatan dengan seseorang yang masih kita suka, ternyata buatku terpana.
Gelak tawa mulai tercipta padahal aku hanya membalas kata ala kadarnya saja. Tapi entah mengapa dia masih tertawa sampai matanya pun ikut tersenyum.
Di bawah langit senja—aku malah teringat dia, saat–saat kita masih bersama. Kau pun harus tahu, Asa. Bila pesan yang singkat yang ku balas bukan datang dari hati yang tulus, pesan tersebut ku balas dengan hati yang terpaksa bersikap seolah-olah kita bukan siapa-siapa. Meski kau meminta ada baiknya kita berteman saja kesannya justru memaksaku untuk lebih tahu diri. Meski kau mengetahui perasaanku ini.
— To be continued
Relung sendu, 14 Oktober 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗞𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗞𝗮𝗹𝗶𝗺𝗮𝘁 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗧𝗮𝗸 𝗧𝗲𝗿𝘀𝗮𝗺𝗽𝗮𝗶𝗸𝗮𝗻 [✓]
ContoDengan berakhirnya kisah kita, aku tak ingin semua ini berakhir sia-sia saja. Maka untuk membuatnya bertahan sedikit lebih lama, aku mulai merangkai kata. Menyuratkan beberapa kalimat yang tak kunjung tersampaikan melalui frasa tanpa lisan dan pena...