Bab 36: Pertanda atau Memang Sudah Waktunya?

129 13 0
                                    


Sangga duduk lemas di atas sofa sambil memegang sapu tangan di tangan kanannya, bukan lagi kain putih yang bersih namun sudah berubah menjadi warna merah. Ia benar-benar merahasiakan ini dengan sangat-sangat rapih nanti jika sapu tangan itu sudah tidak bisa digunakan ia akan segera mencucinya dengan tubuhnya yang sudah tidak baik-baik saja, dan akan menahannya ketika mereka ada di rumah. Tidak hanya yang di rumah di tempat kerja juga begitu samanya, Sangga memilih untuk keluar dari sana dan merahasiakan alasannya. Yang tau hanyalah Rasel seorang. Ada orang lain lagi selain Nata dan Rasel. Arsya, laki-laki yang keren itu sekarang sudah menjadi pekerja yang sukses di sebuah kantor negara. Hanya mereka yang tahu bahwa Sangga sedang tidak baik-baik saja sementara yang lainnya mereka tidak tahu.

Ia bahkan tidak sempat untuk membuat biaya-biaya apa saja yang harus di bayar di rumah ini, karena sebenarnya Anggas hanya memberikan uang kepada Sangga dan nanti urusan biaya, tagihan, dan semacamnya akan diurus oleh Sangga. Ada banyak sebenarnya apalagi jika sudah menyangkut dengan kebun. Yang membeli pupuk dan segala macamnya adalah Sangga, sementara Anggas dan Kyler lah bagian yang melakukannya. Maka dari itu ia mulai mengambil pena dan buku binder milik Kyler yang kebetulan ada di dalam kamarnya. Binder itu penuh dengan tulisan Kyler tentang pelajarannya dan juga banyak sekali coretan-coretan aneh dan gambar-gambarnya yang keren seperti organ jantung yang diberikan detail serta nama-nama bagian apa saja yang ada di jantung itu.

Hatinya menghangat ketika melihat Kyler tumbuh menjadi anak yang tangguh dan gagah dalam menjalani kehidupan, ia percaya bahwa suatu hari nanti laki-laki itu akan mendapatkan pujaan hatinya, seorang gadis asal Jogja yang sering ia ceritakan dan namanya selalu ia sebutkan dalam tahajudnya. Ia kemudian mengambil kertas kosong yang ada di paling belakang buku itu lalu ia menulis apa-apa saja yang harus di lakukan di dalam kertas putih itu, mulai dari tempat menjual pupuk langganannya beserta bibit-bibit baru, serta pengingat untuk tidak boros dalam penggunaan listrik, air dan sebagainya. Sejujurnya pula ia tidak ingin membebani kedua adiknya dengan pertanyaan-pertanyaan apa saja ketika sesuatu hal buruk terjadi adanya..maka ia mengambil kertas lagi dan menuliskan permintaan maaf pada kedua adiknya karena merasa bersalah tidak menceritakan hal ini kepada mereka.

...

Sangga kini duduk di depan rumah sambil melihat anak-anak kecil bermain di depan rumahnya mereka tampak gembira tidak memperdulikan hari esok akan seperti apa, isi kepala mereka hanyalah main, main, main dan bermain. Ingin Sangga kembali ke masa itu, masa dimana keluarganya masih lengkap dan utuh secara raga dan jiwa. “Eh Sangga nggak kerja nak?” bude jamu yang biasa lewat di sore hari dan langganan Bapak dan Mama waktu itu masih setia melewati rumahnya dan Sangga juga sering membelinya hanya untuk membuat perutnya sedikit lebih baik karena jamu yang di buat oleh bude.

“Lagi libur bude.’” Katanya berbohong sambil menghampiri bude untuk membeli jamu buatan bude.

Setelah kepergian bude Sangga duduk kembali di kursi jati yang biasa Bapak duduki, ia menikmati sore itu dengan kesendirian dan lagu sendu dari album Tulus lewat ponselnya ia bukan ingin menjadi anak senja melainkan ia sedang menunggu kedua adiknya pulang. Bukan adiknya yang datang dan yang ia tunggu, Nata muncul dari balik pagar rumahnya yang terbuka laki-laki itu mengenakan pakaian yang rapih terlihat bahwa ia baru selesai kuliah dan langsung menuju ke rumahnya. “tumben Nat, ada apa?”

“kok tumben, lu kenapa nggak mau berobat sih Ga.” Laki-laki itu ngomel-ngomel di depan rumahnya saat ini.

“udah minum obat kok sembuh entar ini.” Katanya tidak mempedulikan bagaimana Nata berkacak pinggang di hadapan Sangga dengan sorot wajah kesalnya.

“ayo berobat!” titahnya namun Sangga malah kembali duduk di kursi kayu jati yang ada di atas teras, dan memejamkan nmataata disana.

“lu mau gua seret."

“coba aja.” Sangga menantang. Nata yang tersulut akhirnya berjalan mendekat belum sempat ia melangkahkan kaki agar jauh lebih dekat dengan pria berwajah pucat itu, ia sudah menghindar duluan menginjakkan kakinya di atas teras dan tersenyum kemenangan disana. Nata yang tidak mau kalah berseringai dan mulai menerjang tubuh Sangga yang sudah tergopoh-gopoh karena kelelahan dan karena jiwanya juga yang tidak sebugar dulu.

“Gua nggak mau berobat Nat, gua udah tau kapan waktunya. Kemarin malam Kyler katanya mimpiin gua membelakangi dia, dia panggil-panggil nama gua katanya nggak nengok cuma fokus ke satu arah. Terus tadi pagi gua sempet muntah darah, semuanya baik-baik aja Nat, nggak apa-apa.” Mereka yang sedang tergeletak di atas bale dekat pohon mangga rumah kediaman Sangga, Nata bangkit dengan penuh sorot amarah yang bisa saja meledak ledak disana.

“Muntah darah lu bilang baik, mimpi itu juga lu bilang baik? Lu nggak ada niat untuk mau sembuh Ga?! Lu biarin mereka sendiria lagi? Lu mau mereka terluka lagi karena kehilangan orang yang mereka sayangi.” Nata berteriak di hadapannya dengan air mata yang juga ikut serta keluar dari tempat ternyaman nya.

“bukan mau, tapi emang udah takdirnya.”

Nata diam.

“Sekeras apapun kita coba, seberusaha apapun kita coba, hasilnya sama kalau udah takdirnya kita mau—” Sangga membisu, tepatnya tidak dapat melanjutkan kalimatnya. Nadia.

Dia ada disana. Berdiri mematung lengkap dengan pashmina dan juga tetesan air mata juga ikut serta membasahi pipinya, apakah ia mendengarkan semua usapannya barusan? Sejak kapan dia berdiri disana beserta Rasel yang juga ada di sebelahnya, Sangga bingung setengah mati sekarang ia bahkan tidak menyangka bahwa hal ini akan terjadi kepadanya, sulit baginya untuk berpikir bahwa apa yang sekarang ia lihat adalah kenyataan.

“Kalian kapan sampai?”

“dari tadi.” Bukan Nadia yang jawab, tapi Rasel.

Tiba-tiba “Sangga, perasaan aku ke kamu masih sama. Masih belum bisa ada yang bisa gantiin kamu di hidup aku, bahkan kalau kamu mau tau aku sama Rasel nggak ada hubungan apa-apa, terserah kamu suka aku apa nggak tapi yang penting, aku tetep suka sama kamu maka izinkan aku untuk suka sama kamu, walaupun perasaan aku nggak terbalas sebagaimana mestinya.”

“karena dari awal, aku nggak berharap apa-apa tentang perasaan aku.”

Lama-lama suara-suara aneh mulai terdengar di telinganya semilir angin sore hari itu membawanya pada kelembutan dan kesejukan dalam dirinya ia merasa lega, bukan karena sesuatu hal yang di ucapkan Nadia tetapi kertas yang dibawa Anggas di belakang. Sangga dapat melihat senyuman cerahnya dari tempatnya ia bersenandung dengan riang sambil melompat lompat kecil dan menyapa tetangga konplek sekitar yang sedang menjaga anak-anak mereka bermain, sehingga membuat suara aneh terasa semakin nyata di telinganya, suara tangisan Anggas yang baru lahir, suata yang tangisan Kyler pun begitu lebih kencang dari milik Anggas, lalu tawa mereka semua dalam satu meja makan mulai merekah, mekar di saat waktu yang benar-benar pas untuknya, mekar dengan indah dan membawa harum wangi semerbak bagaikan parfum yang biasa Mama kenakan. Suara omelan Bapak dan wejangannya terdengar begitu jelas di sebelahnya, benar-benar seperti surga untuknya. Lama-lama ia merasa dipijat punggungnya oleh sosok Mama yang tiba-tiba hadir di belakang tubuhnya, begitu juga dengan Anggas yang datang sambil memamerkan pencapaiannya di hadapannya lengkap dengan deretan giginya yang putih dan bersih. Dan Kyler yang terlelap di pangkuannya sambil menghisap ibu jari miliknya sendiri.

Sangga suka, ia sangat menyukainya benar-benar menyukainya. Ia bersyukur telah dilahirkan di keluarga ini.

Hari itu, sore itu pukul 17.59 Sangga telah menghembuskan nafas terakhirnya di pundak Anggas, dengan kertas yang ada di pangkuan laki-laki berwajah pucat dengan rona bibir berwarna biru terpejam dengan tenang. Kepergiannya bersamaan dengan semilirnya angin sore, daun-daun yang bergesekan dan suara tawa anak-anak tetangga yang menjadi salam perpisahan untuknya.

[✓] Sangga (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang