Bab 38: Aku dan Kesabarannya

157 16 4
                                    


Dalam cerita ini, mengambil sudut pandang Anggas

Aku tidak pandai bercerita, jadi akan aku ceritakan apa saja yang bisa aku ceritakan. Mulai darimana agar bisa menjelaskan apa dan kenapa aku bisa seperti ini kepadanya. Aku tidak dekat dengannya, aku sendiri bahkan tidak tahu apa penyebabnya, aku selalu memberikan ekspresi jahat kepadanya, melayangkan tatapan marahku sehingga kadang membuatnya bingung, aku juga bukan adik yang baik untuknya kadang rasa marahku ini memang sesuai dengan apa yang aku rasakan aku bahkan tidak dapat mengatasinya. Padahal kalau diingat lagi, mas Sangga tidak pernah membuat hal-hal serius yang dapat memancing emosi. Namun untukku...

"MAS TAU NGGAK SIH AKU UDAH CAPEK-CAPEK BUAT INI! Harusnya Mas bisa tau dimana waktu buat bercanda dimana waktu buat serius?! Lihat perbuatan Mas coba! Ini siapa yang mau terusin?!" aku pernah mengomelinya karena ia meledekku dengan segelas es teh yang akan berusaha menempel di pipiku saat itu. Entah bagaimana rumah saat itu ramai Mama bahkan sempat mengomeli aku karena tidak punya rasa sopan santun kepada mas Sangga. Namun tidak lama setelah itu, Mama juga mengomeli mas Sangga karena sesuai dengan apa yang au katakan barusan namun perkataanku sebelumnya juga tidak dapat dikatakan benar aku sudah berlaku kurang ajar dan tidak sopan dengan membentak dan memarah-marahi orang yang lebih tua dariku.

Namun Mas Sangga bukanlah laki-laki yang gengsi, dia akan segera meminta maaf mengambil tanganku tanpa mengenal apa itu gengsi. Dia akan selalu seperti itu dan semestinya begitu. Sementara aku? Aku tidak dapat memaafkan perilaku seseorang yang sudah melakukan hal menyebalkan itu di mataku aku bukanlah orang pemaaf yang mama turunkan dari lahir, semua di keluargaku adalah manusia berhati malaikat yang pernah aku temui, emosi? mereka terkontrol kecuali aku, mereka pemaaf kecuali aku, mereka berhati baik kecuali aku. Hal-hal kemanusiaan seperti itu sekecil itu tidak ada, bahkan tidak tumbuh di dalam diriku. Entah karena apa, aku juga tidak dapat menemukan jawabannya.

Emosiku yang meledak bukan hanya soal itu, ada banyan sekali momen-momen dimana aku benar-benar marah dan benar-benar ingin menghantam wajah bodoh yang selalu tergambar di kepalaku. Senyumannya, ledekan konyolnya, jenakanya yang garing dan bapak-bapak namun Kyler menyukainya, pria yang tidak terobsesi dengan cinta ataupun wanita, pria yang tidak peka, pria yang kejam ketika menolak sesuatu yang tidak harus ia sukai. Kak Nadia misalnya. Aku tidak mengerti kenapa Mas Sangga tega melakukan dan membiarkan Kak Nadia larut dalam jatuh cinta bertepuk sebelah tangannya.
Awalnya.

Tapi setelah kutahu alasannya, ia seperti itu karena harus fokus pada pekerjaan dan kehidupan yang masih harus aku dan Kyler jalani. Ia mengorbankan waktu remajanya hanya untuk diriku dan juga adikku yang masih bersekolah saat itu. Aku mengerti dan aku memahaminya.

"Kamu itu terlalu temperamen Gas." Ia mengucapkan itu secara tiba-tiba saat aku sedang mengiris cabai di dapur.

"iya ya Mas."

Aku tidak marah, justru aku menyetujuinya. "kamu mirip sama mbah Putri nya Mama." Mama yang datang sambil membawa sayuran tiba-tiba berkata seperti itu kepadaku.

"Emang mbah gimana dulu?"

"Tegas, serius, nggak suka bercanda, sumbu pendek, tapi anehnya setiap kali Mbah marah ke Mama, Mama nggak anggap itu marah tapi lebih ke bagaimana mbah mengekpresikan apa yang dia nggak suka, dan yang dia khawatirkan."

"Khawatir?" tanya Sangga.

"iya khawatir, takutnya orang yang di bercandain nggak terima dan malah ngelakuin hal yang buruk ke kita, itu juga nggak bagus to?" Aku mengangguk mengerti dengan ucapan Mama, ini hanya sebuah wejangan bahwa yang terlalu berlebihan dan tidak ada batasannya juga pasti akan berhasil buruk akhirnya.

[✓] Sangga (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang