Bab 8: Jadilah Besar Bestari dan Manfaat tuk Sekitar

150 28 0
                                    


Dikatakan awan hitam sebelum datangnya hujan, biarlah aku dikutuk dan engkau yang dirayakan.

-saudade Kunto Aji

Bingung, itulah yang dapat Sangga deskripsikan saat ini. Bukan, ini bukan tentang harus menjawab soal matematika yang sulit di buku paket halaman 149, ini soal keputusan dan soal meneruskan masa depan juga. Membawa nama baik keluarga dan menjadi "orang" tentunya. Kuliah atau tidak di waktu yang belum mendekati kelulusan, Sangga sudah memikirkan hal apa yang akan ia pilih nanti hal ini juga Sangga harus melihat sisi ekonomi keluarganya yang tidak terlalu mewah dari orang-orang yang Sangga temui. Bapak akan segera pensiun sementara bisnis usaha laundry Mama juga akan segera di tutup karena akan dibangun sesuatu disana. Mau tak mau keputusan yang sulit ini harus Sangga tepati dan tidak boleh ada lagi kata plin-plan yang terjadi ketika sudah memutuskan dan memilih di antara kedua pilihan tersebut.

Orangtua pasti menginginkan anaknya menjadi sarjana begitu juga dengan Sangga, Sangga dituntut untuk bisa melanjutkan pendidikan jika memang keluarga mereka sedang tercukupi kebutuhan sehari-hari, jika tidak? Sangga juga tidak tahu, bahkan untuk memikirkan tugas kelompok yang memang akhir-akhir ini sering dilakukan pun tidak dihiraukannya. Sangga hanya fokus pada kuliah atau tidak.

"Mas, mikirin apa?" Kyler mencolek bahu laki-laki itu yang sudah duduk di atas motor setelah menonton pertandingan bola basketnya.

"hah? Nggak, tadi Mas salah ngerjain soal matematika."

"Ujian?"

"nggak sih disuruh maju ke depan karena ngantuk terus dihukum."

"Kok bisa padahal tidur Mas teratur, jam 9 udah turu."

"Nggak tahu, kalau matematika tuh hawanya ngantuk pol." Kata Sangga.

"Di jalanan nggak boleh bengong loh mas bahaya." Kata Kyler memperingati dan Sangga meresponnya dengan gumaman, sambil fokus melihat kendaraan.

"Kiki nanti mau kerja atau kuliah?" pertanyaan Sangga terucap setelah belokan pangkalan ojek dekat rumahnya terlewati.

"Kalau kerja, kerja apa ya mas. Kiki sih mendingan kuliah dulu biar bisa banggain Mama sama Bapak kalau anaknya itu punya Sarjana. Istilahnya mewarisi lah kan Bapak sarjana pendidikan guru, Kiki nanti mau kedokteran."

"Widih, aamiin dah semoga terwujudkan."

"Aamiin, kalau mas? Mas mau kuliah atau kerja?" ditanya begitu Sangga diam sampai melewati pohon mangga milik pak Bagaskoro yang terlihat enak karena buahnya besar-besar dan harumnya juga tercium.

"nggak tau Ki, mas bingung." Katanya, praktis membuat Kyler bertanya.

"Bingung kenapa mas?" motor yang dikendarai mereka berbelok dan masuk ke dalam pekarangan rumah, disana Anggas sedang menyiram tanaman milik Mama dan miliknya, dengan bertelanjang kaki. Sederhana hanya untuk menghindari amukan dari seorang Bapak karena menginjak rumput Jepangnya.

"Menang apa kalah lu?" pertanyaan itu terucap ketika Kyler berjalan melewati Anggas dan berhenti di kursi jati milik Bapak karena hendak mencopot sepatunya.

"menang, Abang sih nggak lihat aku ya Mas."

Sangga mengangguk sambil memakirkan sepeda motornya, kemudian berjalan ke arah kurs jati yang kosong di sebelah Kyler, dan melakukan hal yang sama. Mencopot sepatunya.

"emang lo kenapa nggak mau lihat Kiki main basket?" Anggas memutar bola matanya.

"Mbok seharusnya adiknya lagi tanding ya di tonton Gas, tanaman mah bisa Mamak bantuin di rumah." Kata Mama datang-datang sambil membawa air putih untuk Kyler dan Sangga, kemudian wanita itu duduk di pembatas teras setinggi pinggul pria.

[✓] Sangga (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang