Chapter 2

70 17 2
                                    

          Langit Jakarta begitu cerah pagi ini. Begitu pun dengan suasana hati Ranti. Jalanan ibukota kali ini tak cukup ramai dilalui oleh pengendara motor dan mobil, tampak lengang dari biasanya. Ranti mengendarai sedan putih miliknya menuju rumah sakit. Beginilah aktivitasnya setiap harinya.

          Saat berjalan menuju ruangannya di rumah sakit, mata Ranti terperanjat mendapati sesosok anak kecil yang kemarin dilihat di Bistro Cafe tengah duduk menunggu antrian di depan Poli Anak ditemani pengasuhnya dan seorang wanita paruh baya yang sepertinya adalah neneknya.

          "Ini sungguh kebetulan, aku kembali melihat anak itu, dunia sempit sekali" batinnya. Ranti lalu menghentikan langkahnya, diam sejenak memperhatikan anak itu.

          "Omah, apa antriannya masih lama" tanya  anak itu dengan memajukan bibirnya tanda anak itu cukup kesal.

          "Tidak sayang, sebentar lagi kita akan dipanggil" sahut wanita paruh baya tersebut sambil mengelus-mengelus kepala anak kecil tersebut.

          Ranti lalu beranjak pergi meninggalkan anak itu dan dua orang yang bersamanya, teringat akan kegiatannya yang mengharuskan ia segera memasuki ruangan.

***

          Suasana kantin rumah sakit cukup sepi kali ini di banding biasanya. Ranti menikmati makan siangnya hanya seorang diri.

          "Biar kutemani Ranti. Sedih sekali melihatmu hanya makan seorang diri" canda Ryan yang secara tiba-tiba menghampiri Ranti.

          "Jangan hanya menemani, sekalian traktir aku" balas Ranti.

          "Tidak masalah, pesan saja apapun sepuasmu" jawab Ryan dengan penuh rasa percaya diri.

          Ryan merupakan dokter spesialis anak di rumah sakit ini. Ia merupakan teman dekat Ranti. Di sela-sela makan siang mereka, Ryan membicarakan beberapa hal dengan Ranti, salah satunya menceritakan tentang beberapa pasiennya hari ini, yang tak lain adalah anak itu, anak yang kebetulan dilihat Ranti di Bistro Cafe dan di rumah sakit pagi ini.

          "Ya dia mengidap penyakit lupus. Aku sudah cukup mengenal anak itu. Ibunya sudah meninggal" lanjut Ryan setelah sebelumnya sempat sedikit menceritakan tentang anak itu.

          "Pantas saja saat aku melihatnya di Bistro Cafe anak itu hanya berdua saja bersama seorang laki-laki karena ibunya memang sudah meninggal. Dan pasti pria yang bersamanya adalah ayahnya. Aku sangat yakin itu" pikir Ranti.

          Mendengar cerita yang dituturkan Ryan, Ranti merasa prihatin terhadap anak itu, rasanya ia ingin mengasihi anak itu. Walaupun anak itu berasal dari keluarga berada, tapi kehidupannya tidak sempurna. Ibunya telah tiada serta di usianya yang sekecil itu ia harus menderita penyakit semacam itu.

          "Malangnya nasibmu nak" ucap Ranti seakan meneteskan air mata.

          "Sudah, sudah" sahut Ryan sembari menepuk pundak Ranti. "Dalam hidup yang terpenting adalah kesehatan, uang itu nomor dua. Kesehatan adalah segala-galanya. Beruntunglah kita yang memiliki kesehatan" lanjut Ryan.

          Yang dikatakan Ryan memang benar. Pengalaman sebagai seorang dokter telah  membuat Ryan ataupun Ranti bisa lebih menghargai akan arti sebuah kesehatan. Setiap hari mereka dihadapkan pada sekumpulan orang dengan berbagai macam penyakit, berbagai tindakan medis, dan bahkan kematian adalah hal yang dianggap biasa dalam rumah sakit.

Bukan Pilihan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang