Chapter 9

46 17 3
                                    

          Ranti telah tiba di rumah sakit, tiba di depan ruangan praktiknya tepatnya. Kemudian dipegangnya gagang pintu dan didorongnya ke dalam. Ketika pintu telah terbuka, ia dikejutkan oleh sebuah blossom box berisikan beraneka ragam bunga-bunga segar dengan beraneka ragam warna di atas meja kerjanya. Sungguh sebuah rangkaian bunga yang cantik dan indah. Menambah kesan fresh dalam ruangannya. Terdapat sebuah kartu ucapan di atasnya, menunjukkan siapa sang pengirim bunga.

💌Bunga-bunga indah nan segar ini akan menambah semangatmu dalam bekerja dokter. Semoga kau menyukainya. Have a nice day dokter Ranti.
From Robby & Denias💌

          Senyum terukir indah di bibir Ranti setelah membaca isi kartu ucapan tersebut. Senang karena mendapat kiriman bunga-bunga indah, karena ia memang menyukai bunga. Tapi disisi lain juga terbesit tanya dalam benaknya, mengapa Robby dan Denias tiba-tiba mengiriminya bunga, dalam rangka apa?

***

          Robby duduk dengan gusar dalam ruang kerjanya. Ia menunggu kedatangan Anne setelah sebelumnya telah menghubungi wanita itu untuk memintanya menemuinya di ruang kerjanya. Setelah sepuluh menit menunggu, yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba.

          "Apa yang ingin kau bicarakan Robby" tanya Anne lalu duduk di sofa tamu ruang kerja Robby.

          "Aku telah membuat keputusan Anne. Aku.. aku.. aku akan melamar dokter Ranti" ucap Robby to the point, tanpa ada basa-basi dahulu sebelumnya, dengan suara yang terbata-bata.

          Perkataan yang spontan membuat telinga Anne menghangat. Bahkan, merambat hingga ke ulu hati. Ini sama sekali perkataan yang tidak ia duga. Bahkan ia berharap Robby tidak akan pernah mengambil keputusan ini.

          "Apa yang membuatmu mengambil keputusan ini? ujarnya dengan sedikit tersendat.

          "Kau tahu bagaimana kondisi Denias Anne. Sejak ia dilahirkan, ia tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Di saat bayi-bayi lainnya menangis dalam dekapan ibunya, ia tidak bisa merasakan itu. Ditambah lagi ia sakit Anne, ia mengidap lupus. Aku merasa anakku adalah anak yang sangat malang. Aku merasa bertanggung jawab penuh atas ketidaksempurnaan hidup anakku. Bagiku kebahagiannya adalah segala-galanya" ucap Robby dengan kalimat yang panjang mencurahkan bagaimana isi hatinya untuk anaknya.

          "Lalu bagaimana dengan kita Robby, tidakkah kau korbankan cintaku?" balas Anne dengan air mata mulai membasahi pipinya.

          "Bukan hanya cintamu Anne yang aku korbankan, aku juga mengorbankan cintaku. Aku mengorbankan cinta kita demi kebahagiaan anakku" balas Robby sambil memegang telapak tangan Anne.

          "Aku tahu Robby kita berada di situasi yang sulit. Andai saja Denias bisa dekat denganku, bisa membuka hatinya untukku, situasinya tidak akan sesulit sekarang. Aku akan coba menghargai keputusanmu" balas Anne yang kemudian langsung mendapat pelukan dari Robby.

          "Satu pertanyaan terakhir dariku Robby, apakah kau sebenarnya mencintai dokter itu? ucap Anne seraya melepaskan pelukannya dari Robby.

          "Dia adalah wanita yang cantik. Sosok yang ramah, penyayang, dan menyenangkan. Tapi tak ada cinta untuknya" balas Robby berusaha jujur pada Anne.

          "Tenangkan dirimu Anne, belum tentu dokter itu menerima lamaran Robby. Setidaknya masih ada harapan untukmu" bisik Anne dalam hati berusaha sedikit menenangkan dirinya.

          Robby merasa bersyukur kepada Anne karena telah berusaha untuk menghargai keputusannya. Tapi jauh di lubuk hati Robby, ia merasa bersalah terhadap wanita itu. Tapi jika nantinya lamaran Robby benar diterima, bagaimana dengan nasib hubungannya dengan Anne, apakah berarti mereka akan benar-benar berakhir? Entahlah. Memikirkan hal itu membuat Robby bingung, layaknya benang kusut yang sulit terurai.

Bukan Pilihan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang