Keluarga yang sempurna itu seperti apa?
Brother Notes #1
...
Suara embusan napas berat di balik kamar bernuansa biru gelap. Rean Anggara, begitulah namanya. Lelaki berusia dua puluh sembilan tahun itu memijt pelipis dengan pelan. Mata bundarnya yang beberapa jam lalu tertutup rapat, kini mengalihkan pandangan ke figura foto yang tertera di meja nakas. Foto keluarga yang bahagia, dengan kedua orang tua dan ketiga adiknya.
Ya, tentu saja ia termasuk anak yang pertama.
Tersenyum bangga dengan pakaian formal sama seperti Papa. Kemeja dan jas sudah dipastikan melekat di tubuh dengan pose sebelah tangan yang berada di saku celana.
"Pa, Ma, aku harus gimana?" gumamnya pelan. Menyadari tidak mungkin mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, kini ia bangkit, memperhatikan brangkas kecil untuk memeriksanya kembali.
Ada. Beruntunglah tidak ada barang yang hilang di sana.
"Ekhem!" Rean berdehem, keluar kamar dengan rambut yang masih berantakkan, berhasil membuyarkan keseruan dua orang yang berada di ruang tengah. Dikta--anak kedua, lelaki dengan kaos putihnya itu hanya pasrah mendengarkan ocehan adik lelaki di sebelahanya tanpa jeda.
Ah ... Rean mengangguk pelan. Memahami alur cerita di keluarga Anggara hari ini sekarang.
"Nanta udah diantar ke sekolah?"
Gio--anak ketiga berdecih, memeluk bantal sofa dengan kasar seraya menatap televisi dengan gusar.
Tidak ada jawaban dari Gio, setengah hati Dikta mengalihkan pandangan ke anak tangga, lalu mengangguk pelan. "Udah."
"Thanks," ucap Rean, membasuh wajah di westafel sejenak, lalu diam-diam merutuki saat raut wajah ala bangun tidurnya tidak dapat disingkir dengan mudah. Menyebalkan.
Ingin rasanya Rean mengusaikan pembicaraan. Tapi, bagaimanapun juga, orang-orang di rumah ini selalu berhasil menimbulkan tanda tanya di kepalanya.
"Yo? Lo nggak kuliah?"
Tak ada jawaban dari Gio, cowok berambut fringe itu mengangkat kedua bahu.
Rean memejamkan mata, menyambar roti bakar yang tampak hitam dengan selai kacang di dalamnya. "Jawab yang benar."
"Sebentar lagi, Be*o!" umpat Gio, menyambar tas di kamar, lalu menyambar kunci kendaraan beroda dua di meja dengan cepat. "Gue pergi dulu, panas duduk di rumah ini."
"Bang ...."
Rean mengangkat sebelah alis sembari meneguk segelas susu. Menatap tidak mengerti saat melihat perubahan ekspresi pada wajah oval adik keduanya itu. Dikta, hanya terpaut dua tahun di bawahnya.
"Nggak jadi." Dikta menggeleng pelan, membenarkan letak kacamata yang terlihat turun. "Hari ini gue pulang agak malam."
"Ngapain?"
Hening, tak ada jawaban. Dikta yang tadinya bangkit setelah usai mematikan televisi, kini tersenyum sinis.
"Nggak semua hal tentang gue harus lo ketahui, Bang."
---
Haiho! Setelah Not House, but Home tamat, aku bawa cerita baru egen! Moga terhibur, ya! Tinggalkan jejak di sini, dengam vote, komen, supaya ke depannya bisa lebih baik lahi. Maaci! ^^
Up : 27.02.22
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]
Teen FictionDi dunia yang menyebalkan ini, ada sebuah rahasia yang paling ingin Rean sembunyikan hingga mati. Tidak peduli orang-orang menganggapnya seperti apa, yang pasti biarkanlah rahasia penuh kelam itu menjadi tanggungannya. Namun di sisi lain, semenjak k...