6 : RAPAT KELUARGA

354 57 13
                                    

"Rapat! Rapat! Pokoknya kita rapat malam ini!"

Suara tepukan tangan dari seseorang terdengar memenuhi ruangan tengah. Tidak meriah, melainkan tepukan itu bertujuan agar dua orang di sana mengalihkan fokus dari kegiatannya.

Siapa lagi jika bukan Dikta dengan laptop yang tidak lepas dari pandangannya, serta Nanta yang selalu fokus mengerjakan tugas sekolah di setiap malam.

Dikta menoleh belakang, menaikkan kacamata yang turun dari batang hidungnya. "Tanpa Bang Rean?"

"Yoi, Bang." Gio mengangguk tegas, sebelah sudut bibir itu terangkat.

Rapat dimulai. Televisi dimatikan, begitu juga laptop dan buku yang tertutup rapat. Perlahan tapi pasti, ketiga orang itu melipatkan kedua tangan di meja, menatap satu sama lain dengan serius.

"Jadi, kelanjutan camping lo gimana, Dek?"

'Adek' tidak ada panggilan untuk orang lain selain Nanta. Mungkin bisa saja kata itu ditujukan untuk Dikta dan Gio mengingat mereka berdua masih memiliki abang yang paling atas. Tapi, pada akhirnya panggilan itu ditujukan untuk orang yang paling akhir dan siapa lagi jika bukan gadis dengan bando biru yang terikat di kepala.

"Nggak jadi ikut. Kalau Bang Rean nggak kasih, Nanta bisa apa?"

"Bisa kali, Dek. Kan, ada gue," cerocos Gio, menyandarkan punggung di kaki sofa, melipatkan kedua tangan di dada. "Lo cuma butuh biaya aja, kan? Aman kalau masalah itu, entar lo ikutan daftar, biar gue yang nanggung biayanya."

Kontan, Dikta nenoleh. "Lo dapat uang dari mana? Biaya camping-nya lumayan."

"Jual PSP." Gio menyengir, lalu mengacak puncak kepala kecil adiknya itu hingga tertunduk. "Tenang aja, Dek. Lo ikutan, gih, uang bukan apa-apa buat gue. Yang penting lo bahagia, ngerti?"

Nanta menggeleng. "Tapi, Nanta nggak mau, Bang. Kenapa Nanta harus pergi kalau akhirnya nyusahin Abang? Lagian PSP itu-"

Dikta ikut menoleh, menunggu penjelasan lebih dari anak ketiga itu. Gio mengangkat bawah bibir seakan berpikir. "Lo merasa bersalah kalau PSP-nya gue jual?"

Nanta menunduk, mengangguk pelan. "Lagian, itu barang kesayangan Abang."

"Tenang, permasalahan satu selesai." Kertas dicoret setelah beberapa menit memberikan penjelasan. "Lagian, dibandingan PSP, ada banyak keberuntungan yang gue dapat. Pertama, gue senang kalau lo bisa ikut camping. Kedua, gue jual PSP nggak kesembarangan orang kali. Gue cuma jual sama Nesya. Paling kalau gue dapat dana, gue ambil lagi tuh mainan."

"Ketiga, lo juga bisa ngemodusin tuh cewek, hm?" sambung Dita mengangkat kedua alis. Membuat Gio menyengir. Ya, enggan mengakui meskipun tampak tulang pipi itu terangkat, seakan ingin tersenyum mengiakan.

"Oke." Gio menggumam, mengetuk pena pada ujung meja. "Sekarang masalah penting. Akar dari semua masalah kita, gimana cara nyadarin Bang Rean? Asli, gila tuh orang pelitnya. Bang Rean dari dulu memang kayak gitu, Bang Dik?"

Dikta berdehem, lalu menggeleng pelan berusaha mengingat. Jika di antara keempatnya siapa memiliki ingatan yang terbatas, maka Dikta adalah jawabannya. Ingatan limited edition, lelaki berkacamata itu akan melupakan hal begitu cepat. Baik itu rahasia seseorang ataupun barang-barang yang diletaknya.

"Kayaknya nggak. Tapi, yah, dia juga bukan tipe yang suka hamburin orang."

"Kadang gue kesal sama teman-teman gue," keluh Gio, membenamkan setengah wajah pada lipatan kedua tangan di meja. Dimainkannya pena tetapi terhenti saat jatuh di pangkuan orang seberang. Dikta? Ya, abangnya yang pendiam.

Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang