18 : AKHIRI TANPA ALASAN

261 40 4
                                    

Dua hari setelahnya, barulah Rean dapat kembali kerutinitas asal. Tidak lagi berbaring seharian, terlibat dalam perdebatan yang Gio lakukan dengannya setiap hari, ataupun memancing rasa penasaran kepada Nanta yang selalu setia menatap ponsel.

Ah, Nanta tidak jauh seperti Dikta yang selalu dengan laptop di pangkuan. Anak kedua dan anak terakhir, sulit diduga kalau Nanta mewarisi sifat salah satu abangnya itu.

"Rean, kamu udah datang?"

Pintu diketuk, lalu digeser oleh seseorang. Rean yang tadinya mengitari ruangan sembari memeriksa beberapa berkas, menoleh seketika. Ingin rasanya kedua sudut bibirnya mengembang, tapi secepat mungkin berdehem. "Ya?"

"Kamu sudah baik-baik sa--"

Rean mundur selangkah begitu gadis itu berjinjit dan ingin meletakkan tangan di dahi Rean. Menyadari lagi-lagi Rean menjaga batas, gadis dengan kemeja soft pink itu menurunkan tangan dengan canggung, lalu mengusap tengkuk berhasil membuat ujung geraian rambut ikalnya bergerak.

"Terima kasih sudah membantu saya," ucap Rean, mengalihkan pandangan keluar jendela. Tak kalah canggung.

Lagi-lagi pandangan mata gadis itu menghangat, tersenyum lembut. "Sudah kewajiban aku, Rean. Oh, ya, ada  agenda kunjungan ke beberapa yayasan hari ini."

Rean mengangkat kedua alis, memperhatikan daftar kunjungan sejenak. Mulai dari jam hingga rangkaian kegiatan yang dilakukan. Dua jam untuk satu yayasan. Ada tiga yayasan yang harus ia kunjungi hari ini.

Bersama Naya tentunya.

"Jam sembilan?" Rean memperhatikan jam tangan sejenak, lalu menoleh. "Masih ada satu setengah jam lagi. Mau berangkat sekarang?"

Naya mengangguk semangat.

Benar saja, bukan hanya berada di kantor, melainkan juga berada di perjalanan. Tidak ada yang mampu membuka topik pembicaraan bila tidak menyangkut kepentingan, hanya ada suara musik yang mengalun menemani perjalanan.

"Naya, saya bisa nyetir mobil kantor," ucap Rean tiba-tiba, menoleh pada gadis yang singgap memegang kemudi.

"Sesekali, biar aku yang nyetir," ucap gadis itu tanpa memgalihkan pandangan dari arah ke depan.

Keras kepala. Rean mengalihkan pandangan, memperhatikan luar melalui jendela. Ia ingin secepatnya menyelesaikan jadwal kunjungan ini sekarang juga.

"Hati-hati kalau begitu," ucap Rean akhirnya.

Naya tersenyum saja mendengarnya. Ia mengerti, Rean berada di posisi yang sama sepertinya. Lelaki itu berusaha mencari topik pembicaraan, tetapi hanya itu yang bisa Naya jawab. Berbicara yang menyangkut hal di luar pekerjaan? Inginnya Naya melakukan, tapi ia tau persis seperti apa jawaban yang dilontarkan Rean.

Apalagi jika bukan mempertegas dan memberi peringatan untuk tidak keluar dari batasan.

"Naya, ini jalan lewat sekolah kita?"

Naya menyengir. "Maaf, aku cuma tau jalan lewat sini kalau mau ke yayasan. Kamu biasanya lewat jalan lain?"

"Ya, begitulah," jawab Rean, mengembus napas berat. Pantas saja terasa lebih lama. "Boleh mampir sebentar? Kamu ingat mini market di depan gang sekolah? Ada yang mau saya beli."

"Pena? Buku catatan? Amplop? Map? Aku ada bawa."

"Bukan," gumam Rean pelan, memasang raut wajah tidak enak, sembari menggerakkan kaki di balik sepatunya. "Kaus kaki."

"Hah?"

"Bolong," keluh Rean, enggan menatap gadis itu. "Semalam yang lain saya cuci, belum kering. Cuma ada ini."

Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang