28 : TERLALU DEKAT

214 36 0
                                    

Jika ada kesempatan, ku ingin memutar waktu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jika ada kesempatan, ku ingin memutar waktu.
Bertemu denganmu, kembali tertawa bersamamu.
Ketika harapan itu terwujud. Kau salah ....
Kita yang mengira tak berubah, akhirnya tidak lagi saling mengenal.

Dari bangku belakang, Gio memejamkan mata, begitu juga Dikta yang menyandarkan kepala ke jendela. Alunan musik yang tadinya terdengar semangat mendadak berubah drastis menjadi suram karena playlist seseorang.

Ya, bahkan Rean yang mengemudi, diam-diam juga turut merutuki si penyusun playlist ini. Siapa lagi kalau bukan Gio.

"Bisa pindahin lagunya?" tanya Dikta setengah berbisik, menyikut lengan Gio. "Lo tau sendiri hubungan orang di depan lagi gimana?"

Naya dan Rean. Bola mata Gio melirik kiri kanan. Seluruh anggota di rumah tidak ada yang tidak mengetahui hubungan antara Rean dan Naya. Mungkin Dikta bisa saja tau jauh lebih dalam karena umur yang terpaut tidak jauh berbeda. Sementara Gio dan Nanta?

Meskipun Rean tidak pernah terang-terangan mengatakan pernah memiliki hubungan khusus, tapi gerak gerik si kaku itu begitu mudah ditebak. Dari sudut pandang Gio dan Nanta, satu-satunya orang yang darj dulu akrab dan mampu membuat Rean tertawa lepas hanyalah Naya.

Selain itu? Tidak. Rean sangat sulit membangun hubungan hingga begitu dalam. Jangankan memperkenalkannya kepada anggota di rumah, diajak untuk bertemu saja, jika tidak penting, maka akan menolak.

"Jadi benaran, ya?" gumam Gio memastikan, disambut anggukan pelan dari Dikta. "Gue kira karena Papa Mama mau angkat dia jadi sekretaris Bang Rean, makanya akrab sama kita."

"Hubungan mereka nggak seremeh itu," bisik Dikta, seberusaha mungkin pelan agar tidak terdengar. Entah termasuk keberuntungan atau tidak lagu yang dimainkan diputar dengan suara yang cukup keras. "Makanya, ganti lagu buruan!"

Nihil, bukannya mengindahkan. Gio terus mengulangnya berulang kali, sampai-sampai nada yang tadinya asing kini perlahan hafal dan bisa disenandungkan.

"Yo!" tegur Dikta, sepelan mungkin.

Gio memiringkan tubuh, mendekat ke arah abangnya itu berbisik. "Bang, lo tahu, kesedihan bisa dihilangkan dengan apa?"

Dikta berpikir sejenak, lalu semakin mendekat. "Kebahagiaan."

"Salah," jawab Gio, menggeleng. Kedua sudut bibirnya terangkat, percaya diri. "Jawabannya kesedihan. Entah rasa sedih yang jauh lebih parah sampai lo bisa mengalihkannya, atau mungkin menghadapi rasa sedih dan masalah itu sendiri."

Dikta terdiam sesaat, hingga lima detik barulah ia mengerjap, tidak lagi menatap adiknya itu dengan menekankan. "Sok bijak lo," umpat Dikta, berbisik. "Padahal semalam baru galau-galauan juga."

Sebagai jawaban, Gio tertawa hambar, melipatkan kedua tangan lalu bersandar kembali memejamkan mata.

Tidak peduli.

Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang