22. pahitnya kenyataan

316 39 4
                                    

⚠️tw//self-harm


"Sekarang istirahat ya, jangan sampai terlalu lelah."

"Iya, mas. Makasih ya udah diantar. Jadi ngerepotin."

"Gak apa-apa, Dit. Mas duluan ya, mau belanja sama Kun. Arsi bilang stok bahan dapur udah mulai menipis."

"Oke, mas. Hati-hati di jalan."

Begitu mobil Yuta melaju pergi dari depan rumahnya, Senandika pun segera melangkah memasuki rumah. Entah mengapa ada rasa mengganjal di dalam hatinya yang juga bertumpuk dengan rasa bimbang kala ucapan Yuta tadi kembali terngiang-ngiang di benaknya.

"Aku harus jujur gimana..." Senandika menghela napasnya bingung sembari melepas sepatunya dan beranjak memasuki rumah, mendapati ibunya tengah duduk di sofa ruang tamu sambil bersedekap.

"Aku pulang, Bunda."

"Sini kamu."

Nada bicara ibunya yang dingin tak pelak buat Senandika menegang takut. Dengan pandangan menunduk ia menghampiri ibunya sebelum wanita berusia kepala empat itu berdiri dan menamparnya tepat di pipi.

"Brengsek! Anak gak tau diuntung!"

Senandika melotot kaget, merasakan panas menjalari pipi putihnya.

"Kamu hamil kan?! Iya?! Anak biadab! Udahlah beban keluarga, segala nambah aib saya sebagai ibu kamu!"

Kerah seragamnya dicengkram kuat, ibunya menatapnya dengan mata menyala marah.

"Ternyata selama ini sering pulang malam karena kerja di kelab, hah?! Iya?! Kamu jual diri, iya?! Anak sinting! Punya anak lelaki yang bisa hamil aja udah aib bagi saya, Senandika! Ayahmu yang gak becus itu sama aja dengan kamu! Bocah bodoh! Sekarang kamu menambah aib keluarga dengan hamil diluar nikah! Sialan, anak brengsek! Enyah kamu dari rumah ini!"

PLAK!!

"Dasar jalang!!"

PLAK!!

"Saya mau kamu pergi dari rumah ini, paling lambat besok pagi!! Saya muak lihat mukamu itu! Mulai detik ini, saya bukan ibu kamu lagi! Saya gak mau menanggung beban aib akibat kamu, Senandika! Sekarang kemasi barangmu! Pergi dari rumah ini secepatnya!"

Tak peduli dengan air mata Senandika yang telah mengalir deras, ibunya kembali menampar Senandika di tempat yang sama. Kakinya gemetar sebelum ia jatuh bersimpuh di hadapan ibunya, sujud meminta ampun di depan kaki ibunya.

"Maaf, Bunda. Maafin Senandika. I-ini... ini kecelakaan... Senandika juga gak duga bakal hamil..."

DUAK!!

Senandika jatuh terjengkang akibat bahunya yang barusan ditendang ibunya. Ia meringis bangkit lantas kembali bersujud meminta ampun.

"Gak ada ampun bagi anak biadab! Pergi dari rumah ini, atau saya yang lempar semua isi lemarimu keluar kamar!"

Tanpa menghiraukan isak tangis Senandika lagi, ibunya beranjak pergi sebelum kembali dengan sebuah koper, melemparnya ke hadapan Senandika dengan wajah dinginnya yang masih memerah marah menahan emosi.

"Kamu itu! Gak tau diuntung! Kamu selalu bikin repot sana-sini! Saya mau besok pagi kamu udah meninggalkan rumah ini! Kamu bukan tanggung jawab saya lagi! Silakan pergi dan jangan pernah kembali lagi!"

Setelahnya, ibunya benar-benar pergi meninggalkan rumah, meninggalkan Senandika yang terisak dengan bahu bergetar, mau tak mau menyeret koper menuju kamarnya dan mulai mengemasi barang-barangnya.

Wajahnya sudah merah tak karuan. Air matanya bahkan sudah habis saking hebatnya ia menangis. Akhirnya semua terjadi juga. Akhir cerita yang memang sudah Senandika duga sejak awal semua hal ini dimulai.

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang