17. rentetan kejujuran

591 85 19
                                    

Kejadian hari itu menjadi awal dari rentetan kegiatan panas yang kemudian rutin dilakukan oleh Saujeno dan Senandika setelahnya.

Yang kedua telah terjadi, lalu ketiga dan keempat pun menyusul. Dalam jangka waktu satu bulan, setidaknya sudah lima kali Saujeno menyetubuhi kekasihnya. Ternyata candu. Lebih memabukkan dari rokok atau balapan. Saujeno ketagihan.

Seperti sekarang, setelah mencapai pelepasannya, Saujeno membaringkan diri dan mengatur napas di samping kekasih manisnya yang tengah meringkuk membelakanginya, tanpa tahu bahwa wajah manis itu tengah menangis di balik selimut yang menutupi tubuh polos mereka.

Pemuda itu kemudian berbalik ke samping, memeluk kekasihnya dari belakang sambil ia kecupi tengkuknya. Senandika terlena sebentar, merilekskan diri dan membiarkan kekasihnya itu melingkupinya dengan hangat tubuhnya.

"Ah, aku ada janji sama Bayu," Saujeno mendadak melepas dekap, segera bangkit memakai pakaiannya kembali dengan sedikit terburu-buru. "Nana? Aku pergi ya?"

Tangan Senandika meremat bagian dalam selimut, tubuhnya meringkuk semakin kecil.

"Iya, pergi aja." Senandika menyahut singkat dari dalam selimut.

"Bisa ke kamar mandi sendiri? Mau aku—"

"Gak usah," Senandika mengeluarkan tangannya dari dalam selimut dan dikibaskannya pada kekasihnya itu, tanda hal yang disebutkannya barusan tidak perlu. "Nanti ditunggu Bayu."

"Gak apa-apa?" Saujeno sekali lagi meyakinkan setelah mengancingkan kemejanya kemudian kembali mendekati kasur, membawahi tubuh kekasihnya dan ditariknya sedikit selimutnya. Beruntung, Senandika telah menghapus air matanya barusan.

"K-kenapa?" Senandika berujar sedikit panik, menutup wajahnya dengan punggung tangan.

"Aku pergi ya." Saujeno tersenyum sebelum menarik tangan Senandika menjauh, ditaruh telapaknya di pipi kanannya sebelum ia kecup perlahan dan genggam hangat.

Sesuatu mendadak terasa menyengat dadanya, kemudian merambat turun, membuat perut Senandika terasa tergelitik. Pemuda itu lantas menganggukkan kepalanya, berusaha keras menjaga ekspresi wajahnya.

"Iya, gak apa-apa."

"Kamu mau makan apa? Nanti pulang aku beliin." Saujeno kembali merunduk untuk mengecup dahi Senandika dan disaat bersamaan, pintu kamar Senandika terdengar diketuk.

"Kak Nana!"

Keduanya sontak bangkit dari kasur dan Senandika pun memakai pakaiannya dengan terburu-buru begitu mendengar suara adiknya yang berseru di depan kamarnya, mengabaikan rasa sakit yang menyengat dari pusat tubuhnya.

"Y-ya, Nara? Kenapa, Dek?" Senandika membukakan pintu dengan sedikit terengah, memasang senyum pada adiknya sembari sebelah tangannya menarik kausnya ke atas, jaga-jaga takut tanda yang Saujeno tinggalkan di tulang selangkanya terlihat oleh adiknya.

"Kata Bunda nanti ada makan malam sama Om, Nara disuruh kasih tau ke Kakak. Itu aja, hehe."

"Oh, iya," Senandika mengangguk kecil, berusaha menjaga raut wajahnya tetap tenang di hadapan kekasih dan adiknya. "Makasih ya. Nara udah makan?"

"Udah tadi habis bobo siang. Kak Nana mau pergi sama Kak Jeno?"

"Gak, Kak Jeno pergi sendiri," Senandika menggeleng sembari mengusap kepala adiknya itu. "Ya udah, Saujeno. Pergi gih. Nanti ditunggu Bayu."

"Oke, aku pergi ya," Saujeno menyempatkan diri mencium pipi Senandika sebelum pamit pergi, mengusap kepala Nara, lalu suara tawa bocah kecil itu terdengar mengejek kakaknya yang merona pipinya.

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang