Rasanya semakin sulit ketika usia kandungan Senandika telah memasuki trisemester kedua. Tubuhnya semakin berisi dan rasa-rasanya seragamnya tak bisa lagi menutupi perutnya yang kian membesar.
Ia bahkan hampir pingsan saat mengetahui berat badannya naik sebanyak hampir tujuh kilogram. Pipinya terlihat semakin menggembul dan lengan yang tadinya berbisep kini semakin berlemak.
"Oh, astaga," Senandika menghela napasnya begitu celana bahan hitam yang ia pakai untuk kerja juga makin susah dikancingkan.
Meraih peniti besar yang dibelinya di pasar kemarin, Senandika menghela napasnya lagi sembari mengikat apron di sekitaran pinggangnya. Helaian kain kanvas tersebut juga nampaknya sudah tak mampu lagi melingkari pinggangnya yang membesar. Apakah sebanyak itu ia menambah berat badannya? Padahal kandungannya baru memasuki bulan keempat.
"Kak..." Senandika memanggil Juan yang sedang membereskan uang receh dengan lirih.
"Kenapa, Dik?" Ia tersenyum sembari menutup laci mesin kasir. "Butuh sesuatu?"
"Celanaku makin sempit rasanya. Sampai gak bisa dikancingin..." gumamnya. "Aku gendutan banget ya?"
"Itu normal kok," Juan tersenyum menenangkan. "Kakak ada celana bekas di rumah. Kayaknya di kamu masih muat deh, Dik. Celana abu-abu zaman SMA juga masih kakak simpen. Besok kakak bawain deh."
Senandika mengangguk berterima kasih sebelum memakai topi beretnya lantas menenteng nampan dan mulai bekerja membereskan meja.
Di tengah-tengah pekerjaannya, Haedar mampir sembari membawa laptop dan beberapa soal latihan ujian semesteran untuk nanti mereka kerjakan bersama-sama.
"Oh, hai," Senandika menyapa begitu melihat Haedar tengah berjalan menghampiri dirinya yang sedang membersihkan meja. "Cepat banget datangnya?"
"Iya, saya malas dengar rengekan Saujeno," Haedar menjawab jujur sembari menduduki kursi di meja dua belas. "Berisik, kayak bocah tantrum!"
"Saujeno?" Senandika bertanya sembari menatap Haedar hati-hati.
Pemuda itu mengangguk sembari mengeluarkan laptop dari tas ranselnya, "Iya. Dia tau saya dekat sama kamu sekarang. Dia mulai merengek-rengek minta tolong supaya saya bujuk kamu, biar kamu mau bicara sama dia. Tapi saya gak bisa seenaknya aja 'kan? Tanpa persetujuan kamu, saya gak akan dengarkan Saujeno. Kamu tenang aja."
"Makasih banyak ya, Haedar. Kamu membantu banget disaat Kak Raka gak ada."
"Oh? Jadi bagimu saya cuma jadi pengganti Kak Raka aja?"
"Bu-bukan gitu!" Senandika menggeleng gelagapan, takut salah bicara. "Ma-maksud saya, saya bersyukur akhirnya saya punya teman selain Kak Raka! Begitu!"
Haedar sontak terbahak melihat wajah Senandika yang menyiratkan rasa takut, "Santai, Dika. Semangat ya. Sementara saya nyicil laporan praktek, saya minta tolong dibuatin milkshake cokelat sama kue keju kayak biasa."
"Oke deh," Senandika mengangguk tersenyum sebelum melangkah ringan menuju belakang meja kasir untuk menyiapkan pesanan temannya.
Beberapa menit kemudian, Senandika datang mengantar dan menemani Haedar sebentar, mengobrol seputar tugas kelompok yang tengah Haedar cicil untuk nanti dilanjutkan oleh Senandika.
"Terima kasih, ya. Jangan kamu kerjakan semuanya! Sisakan bagian saya juga!"
Haedar tertawa ringan, "Haha... iya, iya."
"Saya balik kerja dulu ya. Awas kamu, Haedar!"
"HAHAH, iya, Dika. Udah sana, hush~" usir Haedar jenaka sembari melambaikan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika - [nomin]
Hayran KurguTentang asa akan perasaan, soal penyesalan yang datang belakangan, dan penantian yang tak pernah terlupakan. "Saya gak akan pernah berhenti mencoba. Kamu boleh ragu sama saya, kamu boleh tidak membenarkan tindakan saya. Tapi satu yang tidak boleh k...