20. sebuah saksi bisu; cermin di kamarku

445 69 4
                                    

Senandika mematut diri di depan cermin dengan pandangan mengernyit khawatir.

Ia lalu membalik tubuhnya menghadap sisi kanan, menyadari perutnya sudah semakin besar dan tubuhnya menjadi lebih berisi. Celana abu-abunya  bahkan hampir tidak muat, padahal sebelumnya ia sampai harus memakai peniti.

Ia lalu mengusap perutnya, mencoba tersenyum sembari membayangkan sosok mungil yang kelak akan menjadi buah hatinya nanti.

"Adik bayi, sehat-sehat di dalam perut ya."

"Kak Nana!"

Buru-buru, Senandika menurunkan kaos yang dipakainya sebelum membukakan pintu untuk adiknya masuk.

"Kak, ada yang nyari di bawah," Nara tersenyum padanya sembari memberikan sebungkus roti keju dan tiga batang cokelat padanya. "Dari Aiden, orang tuanya habis pulang dari Swiss. Kakak tiga, Nara dua, hehe."

Senandika tersenyum sebelum mengangguk mengucapkan terima kasih dan mengusap pucuk kepala adiknya, "Siapa yang cari kakak sore-sore begini?"

"Hmm... kakak temui aja. Ada di bawah, udah Nara suruh masuk. Nara gak kenal juga, Kak."

"Loh? Kok Nara ngebiarin orang asing masuk?" Senandika mengernyit bingung pada adiknya.

"Katanya temen Kakak di sekolah."

Senandika mengangguk lagi sebelum menaruh buah tangan dari adiknya di nakas dan beranjak menuruni tangga.

"Hai, Dika. Sorry ganggu sore-sore gini."

Lelaki yang berkunjung itu ternyata Hasta Bayu, kini tengah berdiri canggung di ruang tamu rumahnya sembari senyum tipis. Gurat rasa bersalah itu nampak di sela tatapan sendu dan senyum tanggungnya.

Senandika otomatis beralih pada adiknya, menyuruh si bungsu untuk membuatkan minum untuk tamunya.

"Silakan duduk, Bayu. Ada perlu apa kamu datang bertamu?"

Senandika duduk di single sofa sebelah kiri, menatap teman Saujeno itu penuh selidik.

"Gue sebelumnya mau minta maaf," ia berujar pelan, rasa bersalah terasa kentara dari nada bicaranya. "Gue minta maaf sebesar-besarnya, Senandika. Gue orangnya. Gue yang udah buat Jeno ngelakuin itu. Gue yang nawarin ke Jeno untuk jadiin lo bahan taruhan. Gue minta maaf. Awalnya gue cuma mau balas dendam aja tanpa ada maksud lain karena lo nolak gue dulu waktu kelas sepuluh, dengan motor gue sebagai taruhan. Gue sendiri gak nyangka Jeno bakal bertindak sejauh ini dan masalahnya jadi serumit sekarang. Gue minta maaf, Senandika. Gue benar-benar minta maaf."

Senandika hanya bisa terdiam di kursinya sembari meremat celana pendek yang dikenakannya. Pengakuan dari Bayu barusan betul-betul membuatnya kehilangan kata-kata. Jadi, awalnya Saujeno tidak punya urusan dengannya, tapi kehidupannya mendadak jadi terlibat hanya karena kemauan semena-mena lelaki ini?

Gila. Darah Senandika seketika mendidih!

"Lalu apa urusannya sama saya?" Ia membalas dingin, berusaha meredan emosinya yang mulai menggelegak, buat Bayu makin merasa bersalah. "Segala urusan tentang temanmu yang brengsek itu udah gak ada lagi hubungannya sama saya. Terserah dia mau berusaha minta maaf kayak apa, saya gak akan terima. Saya heran, dia bahkan masih punya keberanian buat temuin saya dan bilang mau kembalikan keadaan seperti semula. Omong kosong. Saya benci dia dan saya muak sama dia. Sampaikan ke dia, kalau saya gak akan mau bertemu dia lagi. Sudah cukup sampai sini, Bayu. Jangan mau diperintah orang biadab seperti dia."

"Tapi, Senandika—"

"Kamu temannya 'kan, Hasta Bayu? Saya terima maafmu, tapi tidak dengan temanmu. Sekarang kamu pergi, saya gak menerima tamu lagi. Kalian berdua keterlaluan, selalu aja buat masalah."

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang