3 : DIKTA ANGGARA

460 57 4
                                    

"Lama lo!"

Pintu kafe terbuka, berhasil menebarkan aroma kopi di setiap sudut indera penciumannya. Bunyi keramaian pengunjung, lalu musik yang menenangkan dari speaker, seakan menambah semangat pada pukul sepuluh pagi ini.

Dikta Anggara. Secepat mungkin ia mengenakan celemek, lalu memasang name tag pada sisi kanan baju seraya menyambar topi khusus sebagai seragam karyawan kafe tersebut.

"Sorry, tadi di rumah ada problem dikit."

Reyhan. Si pemilik kafe yang turut membantu menangani bagian kasir itu menoleh. "Bang Rean tau rahasia lo?"

Dikta menggeleng, membenarkan  letak kacamata sejenak lalu menyambar buku menu yang berada di sisi meja kasir. "Jangan sampai. Gue udah susah payah sampai ke titik ini. Gue nggak mau semuanya dihancurin dia."

"Padahal, menurut gue, kehadiran abang lo juga bisa menguntungkan."

Dikta menoleh sesaat, sebelum ingin menghampiri pelanggan yang baru saja mendaratkan tubuh di area bangku sebelas. "Maksud?"

Sebelah alis Reyhan terangkat, tersenyum sinis. "Bukannya abang lo yang megang perusahaan? Dia pasti punya dana dan investasi sana sini, seandainya lo  terbuka sama dia, bisa saja dia mau bantu buat ngembangin mimpi lo."

Mungkin saja, ingin rasanya Dikta mengatakan. Tetapi melihat si dingin Rean sepertinya tidak mungkin akan mendukungnya. Dibanding kata manis, Dikta cukup hafal apa yang sering diucapkan abang pertamanya itu.

Bukannya mendukung, melainkan menjatuhkan. Lelaki itu memang menyebalkan, tidak segan merusak mental seseorang hanya dengan perkataan yang berselimutkan 'fakta'.

"Ya," gumam Dikta, berusaha mungkin mengangkat sebelah sudut bibir dengan sinis. "Tapi gue nggak mau bergantung sama dia, Rey."

---

Untuk empat part ini-- satu lagi di part selanjutnya, pendek-pendek dulu, ya. Sebelum masuk ke ceritanya.

Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang