🤕Part 14😲

158 15 0
                                    

"Nuhai?" Sayhan memanggil istrinya. Ia bertanya-tanya kenapa istrinya melamun seraya terus memandangi salah satu lukisan yang ada di depannya. Ada apa? Apakah ada sesuatu? Sayhan memang tidak mengerti apa itu karya seni.

"Sayhan." Giliran Nuhai menyebut nama suaminya tanpa mengalihkan tatapannya. "Kenapa ... kita tidak tinggal di rumah lama?" tanyanya kini menolehkan kepala menatap lelaki itu.

Sayhan terdiam tidak langsung menjawab. Ia dan istrinya saling beradu pandang. Dari sudut pandang Sayhan, aura istrinya tampak berubah saat bertanya barusan, dari nada bicaranya, terlebih lagi pancaran bola mata Nuhai. Tatapan itu ... memandangnya seperti dulu. Ingatan Sayhan ditarik mundur ke belakang di mana kala itu Nuhai sangat membencinya, selalu menatapnya dengan sorot mata penuh kekecewaan, rapuh, sedih, dan tidak lagi percaya padanya, persis seperti sekarang ini. Apa Nuhai sudah mendapatkan ingatannya kembali? Secepat ini?

"Sayhan jawab," desak wanita itu mengernyitkan dahi saat mengetahui bahwa lelaki itu malah termenung diam.

Sayhan tersadar, ia mengerjap-ngerjapkan mata. "Ah, maaf, aku sepertinya kelelahan," ucapnya menghindari pertanyaan Nuhai.

Ekspresi muka Nuhai kembali berangsur normal. Mendengar keluhan Sayhan, ia tampak khawatir. Mestinya sesampainya di Jakarta, mereka beristirahat. Apalagi yang mengendarai mobil hanya Sayhan seorang, jadi wajar kalau pria itu pasti merasa letih.

"Ya sudah, ayo kita ke kamar saja—"

"Akh!"

Suara teriakan yang nyaring tersebut langsung mendapatkan perhatian dari sepasang insan dewasa yang dari tadi sibuk dengan dunia mereka sendiri.

"Saidan?! Saidar?! Apa yang kalian lakukan?!" Nuhai histeris melihat wajah, leher, tangan dan baju anak-anaknya sudah berlumuran cat warna. Bocah kembar itu pantesan anteng-anteng saja diabaikan, ternyata malah sedang asyik bermain dengan salah satu alat melukis milik ibunda mereka.

Saidan dan Saidar memasang tampang wajah polos tak berdosa. Mereka berdua pikir cat warna itu untuk dimainkan karena benda tersebut sangat menarik di mata mereka, atau lebih tepatnya di mata anak kecil. Barusan yang berteriak adalah Saidan karena Saidar menyemprotkan cat warna ke arah rambutnya hampir saja mengenai mata.

"Allahuakbar." Nuhai mengelus-ngelus dada, harus banyak-banyak bersabar jangan sampai karena masalah sepele, ia memarahi anak-anaknya. Tapi, semua cat warna itu kalau sudah terkena kulit akan sulit dihilangkan. Astaghfirullahaladzim kenapa dirinya bisa lalai begini.

Nuhai berjalan menghampiri Saidan dan Saidar, mengajak mereka segera ke kamar mandi yang pada akhirnya meninggalkan Sayhan seorang diri.

Diam-diam Sayhan bernapas lega melihat istrinya. Sepertinya Nuhai belum mendapatkan ingatannya kembali, syukurlah, karena dirinya juga belum siap. Tapi apa yang barusan tadi? Sesaat Sayhan merasa Nuhai kembali seperti dulu, apakah hanya perasaannya saja? Atau memang sudah dimulai tanda-tanda Nuhai akan mengingat segalanya? Gawat, Sayhan tidak bisa lagi menunda, dia harus melancarkan aksi rencananya.

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Lewat sudah satu minggu berlalu Nuhai tinggal di rumah baru. Sayhan memperkerjakan enam orang terdiri dari; empat wanita sebagai pelayan dan dua lainnya adalah lelaki usia paruh baya yang satunya ditugaskan menjadi sopir pribadi dan orang kedua jadi tukang kebun karena di bagian belakang rumah ada halaman cukup luas dihiasi oleh dedaunan hijau yang menyejukkan pemandangan mata ketika memandangnya.

Nuhai sendiri juga turut andil mengurus halaman belakang rumah. Ia membeli bunga-bunga cantik yang bakalan jadi pemanis di antara tumbuhan hijau lainnya. Bahkan rencananya, Nuhai akan membeli bibit-bibit buah, sebelum itu dirinya harus mempelajari dulu apa-apa saja tahapan dalam menanam buah supaya hasilnya memuaskan.

Mendadak Lupa IngatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang