Kedua: Euforia

764 137 52
                                    

Homeschooling pertamanya terasa membosankan, bahkan ketika satu pun materinya belum dibacakan. Entahlah, rasanya ada sesuatu yang berbeda dan terasa canggung karena ia tidak lagi belajar di sekolah. Lagi, pandangannya terus tertuju pada piano di sudut ruangan, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja. Biasanya di sekolah ia akan mengikuti pembelajaran sebaik mungkin, mengerjakan tugas-tugas sesegera mungkin agar bisa pergi ke ruang musik pada jam istirahat untuk memainkan piano.

Yah, katakan saja jika piano adalah salah satu tujuan besarnya berangkat ke sekolah.

Dan kali ini, ia justru berada di rumah. Belajar sendirian--tanpa teman sebangku--berhadapan langsung dengan guru pengajarnya. Juga berada satu ruangan dengan piano lawas milik ibunya dan itu membuatnya jadi tidak bisa fokus.

Hal itu tertangkap jelas oleh mata elang Kim Namjoon, lelaki yang berperan sebagai pengajarnya di rumah. Lelaki dua puluh enam tahun itu berdeham pelan.

"Ada apa? Kakak rasa kamu tidak bisa lepas dari piano itu, ya? Sampai tidak fokus pada materi," celetuknya, yang mana membuat si anak ajar tersentak kecil.

"Maaf," Yoongi melirih. Tangannya kembali meraih pulpen dan menggenggamnya erat. "Kak Namjoon bisa lanjutkan materinya," lanjutnya.

Yang lebih tua menghela napas panjang. Terdiam sebentar hanya untuk menatap si anak ajar dan piano klasik di sudut ruangan. "Mau mainkan? Mungkin setelah itu kamu bisa lebih fokus," ujarnya.

Tawarannya membuat yang lebih muda terdiam. Tangannya saling meremas, sementara dua maniknya menatap lekat pada yang lebih tua.

"Serius, Kak?" tanyanya. Hal yang membuat Namjoon tertawa kecil.

"Tentu, kalau hal itu bisa membantumu lebih fokus. Akan Kakak tunggu, kok. Santai saja," balasnya, masih dengan senyum tipis yang dipatri di wajah.

Itu menggiurkan. Namun, Yoongi rasa ia tidak bisa melakukannya. Alasannya, tentu karena larangan dari sang ayah. Ia sudah dihukum dengan homeschooling ini dan jika ia melanggar lagi, Yoongi yakin hukumannya akan jauh lebih buruk daripada yang sekarang tengah ia jalani.

"Kenapa?" Kim Namjoon berucap, menyela sang anak ajar yang hanya diam.

"Hmm ... tidak. Ayo, lanjutkan saja belajarnya, Kak."

Namjoon menurut dan kembali melanjutkan kegiatan mengajarnya pagi ini. Namun, baru sepuluh menit terlewat, ia kembali mendapati sang anak ajar yang tidak fokus, malahan sibuk mencuri pandang pada piano di sudut ruangan.

"Mainkan saja dulu pianonya, tidak apa," ujarnya yang dibalas dengan tatapan ragu dari Yoongi.

Tatapan yang seolah berbicara, benarkah? Boleh aku memainkannya?

"Mainkan saja dulu, baru kita lanjutkan belajarnya. Tidak akan ada artinya kalau kau belajar tapi fokusmu tertuju pada hal lain," Namjoon kembali berucap, kali ini dengan senyum.

Walau sempat ragu, pada akhirnya yang lebih muda mengangguk setuju. Anak itu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju piano usang di sudut ruangan. Jantungnya berdebar cepat. Ia dudukkan dirinya pada bangku kecil di depan si piano cokelat. Matanya memejam. Ia membuang napas kasar.

Hanya sebentar. Lagipula, ayahnya tidak akan tahu, 'kan?

Perlahan, kesepuluh jemarinya bertengger pada tuts berdebu. Ada takut, ragu, dan bimbang dalam dirinya. Namun, Yoongi memilih untuk abai, dibuktikan dengan dimainkannya Moonlight Sonata 1st Movement. Komposisi Ludwig van Beethoven, seorang komponis klasik besar asal Jerman.

Semakin lama permainannya, semakin ia terbuai ke dalamnya. Yoongi begitu merindui piano ini, sampai-sampai ia tak tahu lagi bagaimana caranya berekspresi selain dengan permainannya. Ada euforia dalam dirinya ketika ia kembali pada piano ini. Kembali menyentuh dan memainkannya: piano cokelat berdebu yang pernah menjadi temannya semasa kecil dulu.

Piano: Happiness & Sadness ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang