Namjoon punya keyakinan yang kuat juga visi yang jelas tentang benang merah antara Yoongi dan piano. Karena itulah, ia tidak akan membiarkan anak itu menyerah begitu saja. Yoongi itu berbakat—benar-benar berbakat. Setelah mendengar cerita anak itu tentang apa yang terjadi: mengenai alasan dari larangan Tuan Min dan mengapa piano dijauhkan darinya, Namjoon tidak bisa untuk tidak semakin merasa kagum.
Itu artinya, lebih dari lima tahun sejak Yoongi tidak lagi dekat dengan piano. Sudah lima tahun anak itu menyembunyikan hasratnya dan hanya bermain piano secara diam-diam. Lalu, setelah lima tahun, Namjoon masih bisa mendengar alunan denting yang tanpa cela. Permainan tanpa asahan yang hanya bertumpu pada memori dan ingatan jemari.
Karena itu, Namjoon tidak bisa tidak peduli ketika Yoongi mengadu padanya tentang keputusasaannya. Perasaannya membuatnya berpikir bahwa dirinya harus membantu dan ia memang ingin membantu.
Anak ajarnya; Yoongi, hanya ingin kembali pada pianonya. Ia hanya ingin bersenang-senang tanpa ada rantai yang mengikat sepuluh jemari tangannya. Dan Namjoon yakin, Yoongi berhak untuk mendapatkan kebahagiaan bersama piano dan seluruh kenangannya.
Hari hampir sore, ketika Namjoon masuk di sebuah café, memesan dua cangkir kopi hitam, dan memutuskan untuk duduk di kursi paling belakang. Lelaki itu punya janji bersama Tuan Min lima belas menit lagi. Hendak membicarakan perihal kelanjutan homeschooling Yoongi dan tujuan lainnya, ia akan mencoba berbicara tentang memori duka tak terselesaikan dan--jika mungkin--membujuknya untuk berdamai.
Lima belas menit, tepat setelah Namjoon menyeruput kopi hitamnya, seorang lelaki paruh baya memasuki café dengan setelan jas kantornya.
Namjoon meletakkan cangkirnya dan mengangkat tangan kanannya untuk dilambai ringan. "Tuan Min," interupsinya.
Ia tersenyum tipis ketika Tuan Min duduk di kursi berseberangan dengan dirinya. Lelaki yang punya mata serta tatapan tajam di usianya yang tak lagi muda itu meletakkan tas kerja jinjing yang dibawanya di samping kursi.
"Jadi, apa yang harus kita bicarakan?" lelaki paruh baya itu bertanya tanpa basa-basi.
"Saya pikir, kita harus berbicara mengenai kelanjutan homeschooling Yoongi," Namjoon menjawab.
Tuan Min mengernyit. "Kenapa? Apakah ada masalah?"
Namjoon menggeleng singkat. "Tidak ada masalah, Tuan. Yoongi belajar dengan baik. Hanya saja, Yoongi beberapa kali mengutarakan keinginannya untuk kembali ke sekolah umum dan saya yakin pemikiran itu yang membuatnya menjalani homeschooling dengan baik," paparnya.
"Kita bisa melakukan ujian kesetaraan jika Yoongi hendak kembali ke sekolah. Bagaimana menurut Anda?" lanjutnya.
Tuan Min terdiam sejenak, sebelum ia mengangguk singkat. "Akan kubicarakan dengan Yoongi dan akan kita bisa bicara perihal ini lagi setelah kami membuat keputusan bulat," tanggapnya dan Namjoon mengangguk setuju.
"Terima kasih, Tuan Min. Selain itu ... ada yang ingin saya bicarakan," ujarnya, dijawab oleh anggukan ringan sebagai balasan.
"Ini tentang Yoongi ...." Namjoon menarik napas pelan. Ia lirik sekilas lelaki paruh baya yang tengah menikmati seruputan kopi hitamnya.
" ... dan piano," lanjutnya, yang seketika membuat Tuan Min meletakkan kembali secangkir kopinya ke atas meja.
Raut wajah penuh tanya itu nampak jelas oleh Namjoon. Tuan Min mengerutkan alis, menatapnya penuh tanda tanya.
"Ada apa?"
Satu tarikan napas panjang Namjoon ambil. Setelahnya, ia berucap, "Saya telah mendengar dan melihat permainan piano Yoongi. Ia sungguh berbakat," katanya. Tuan Min mengangguk membenarkan.
"Pujian itu tidak lagi asing baginya."
Namjoon tersenyum. Bagaimanapun juga, di samping larangan yang diberikan, nyatanya Tuan Min tidak menyangkal bakat putranya. Ini jauh lebih baik dari pikirannya, yang ia kira Tuan Min akan bersikap tak acuh.
"Dan saya telah tahu tentang larangan yang Anda berikan, juga alasan di baliknya."
Setelah kalimat itu ia ucap, Namjoon tidak bodoh untuk tidak menyadari perubahan ekspresi lelaki di hadapannya. Rahang lelaki itu mengeras. Tatapannya menajam, cukup untuk memberi Namjoon sinyal bahwa lawan bicaranya tidak tertarik pada topik yang ia singgung. Namun, kali ini Namjoon mengacuhkannya.
"Saya tidak ingin campur tangan dalam masalah personal Anda, Tuan Min. Biarkan itu menjadi hak Anda untuk menyelesaikannya sendiri. Namun, tidakkah Anda pernah berpikir bahwa apa yang anda lakukan ini sewenang-wenang?" ucapnya hati-hati.
"Putra anda punya mimpi menjadi seorang pianis yang sekarang telah terkikis. Impiannya saat ini hanyalah bermain piano. Benar-benar hanya ingin memainkannya. Sesederhana itu. Yoongi punya bakat yang bahkan Anda sendiri tidak menyangkalnya. Lantas, mengapa Anda tidak memberinya kesempatan untuk meraih impiannya?"
Tuan Min mengepalkan tangannya kuat. Barangkali merasa disudutkan oleh kata-kata Namjoon tentang dirinya.
Ditatapnya Kim Namjoon remeh. "Apa yang membuatmu berani bicara tentang hal ini? Ini sama sekali bukan urusanmu, Kim Namjoon," ucapnya penuh penekanan.
Namjoon tersenyum. "Maaf saya lancang karena menyinggung kematian mendiang istri Anda, Tuan Min. Saya bisa paham dengan duka tak terselesaikan Anda. Itu pasti membutuhkan waktu sampai Anda benar-benar siap untuk menyelesaikannya. Tahap terakhir dari duka adalah perkembangan, yang mana Anda harus mencoba berdamai dengan diri Anda sendiri untuk menyelesaikannya. Alih-alih menganggap suara denting piano sebagai kutukan, tidakkah lebih baik untuk menganggapnya sebagai kenangan dari mendiang istri anda, Tuan?" Namjoon berucap.
"Kenapa tidak mencoba untuk menganggapnya sebagai kenangan, alih-alih memikirkannya sebagai melodi kematian? Saya yakin Anda sadar bahwa duka tak terselesaikan Anda tidak hanya berefek pada Anda sendiri. Ada orang lain yang terkena imbasnya dan ia adalah putra Anda sendiri." Namjoon menghela napas panjang, merasa puas dan lega setelah mengutarakan apa yang ia ingin sampaikan.
Lelaki dua puluh enam tahun itu terdiam cukup lama, menunggu adanya sahutan dari perspektif lain yang mungkin bisa ia dengar. Namun, Tuan Min sama sekali tidak berniat untuk menyahut. Lelaki paruh baya itu mengepalkan tangannya kuat dengan pandangan tak terbaca yang diarahkan pada hiruk pikuk kota, lewat kaca tipis café.
Namjoon lirik arloji di pergelangan tangannya.
"Maaf, Tuan Min. Saya harus segera pergi. Anda bisa habiskan secangkir kopi Anda terlebih dahulu. Saya permisi," pamitnya dengan senyum tipis dan segera keluar dari café itu, meninggalkan Tuan Min yang terdiam dengan tangan yang dikepal keras.
To be Continue
Kalau ada typo atau kesalahan ketik tolong kasih tau aku yaa~
Makasih banyak ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Piano: Happiness & Sadness ✔
Fanficfanfiction | completed "Ayah tidak pernah melarangmu untuk melihat. Hanya tidak menyentuhnya. Itu saja. Tapi, kau menyentuhnya, memainkan alat musik itu bukan hanya sekali. Kau melanggar larangan Ayah berulang kali, Gi." Di satu sisi, ibu memintanya...