#Singto #Krist #SingtoPracahaya #KristPerawat #perayafanfiction #oneshot #boyslove #angst #Singkit #KristSingto #Kongpob #Arthit #Kongart #peraya
Bagi seorang pria bernama Singto, cinta itu tak pernah memandang waktu sudah sejauh mana ia melangkah. Tetapi waktulah yang telah membuatnya seperti ini, menjadi seorang yang berbeda dari beberapa tahun sebelumnya. Ia rela hanya dengan memandang keluar jendela menunggu sosok itu menghampirinya dengan sebuah tangan yang direntangkan. Ia akan tersenyum bahagia ketika itu terjadi, tetapi semua tidaklah sama. Bahkan ini tahun ketujuhnya ia berada ditempat yang sama seperti biasanya.
Duduk di kursi roda itu sangat tidak menyenangkan, bayangkan saja setiap kali kau ingin melakukan sesuatu harus berjalan dengan kursi roda itu. Hal paling menyakitkan adalah menunggu seseorang datang, selalu seperti itu. Ia hanya bisa menangis tanpa bisa melakukan sesuatu hal yang dapat membuatnya tersenyum. Entah sudah berapa kali ia menghela napas dan mencoba tersenyum.
Ia ingat terakhir kali saat bertemu dengan sosok itu, bagaimana mereka berpelukan erat sebelum sosok itu pergi dari hidupnya. Bahkan hingga bertahun-tahun tak pernah muncul dihadapannya lagi. Ucapan yang sosok itu katakan bahwa dia akan pergi keluar negeri untuk menyelesaikan S2 nya, tetapi bahkan ini sudah tahun ketujuh sosok itu tak pernah datang lagi. Apakah belajar S2 akan selama itu?
Tak pernah sekalipun ia mengerti bahwa orang yang dicintainya tak pernah menghubunginya, membayangkan setiap tahun yang terasa sepi membuatnya berpikir apakah ia akan sanggup hidup seperti ini terus?
Kakaknya selalu berkata jika ia seharusnya tidak melakukan ini, kakaknya tak ingin melihat adiknya selalu terpuruk dalam kenangan masa lalu yang tak pernah usai. Kakaknya hanya ingin adiknya kembali ceria seperti dulu lagi, seperti saat ia tak pernah bertemu dengan sosok yang dicintainya.
"Sing, ayo kita masuk." Ujar sang kakak yang menghampiri adiknya dan tersenyum manis.
"Phi, bisakah aku disini saja?" Tanyanya pada sang kakak dengan tatapan memohon.
"Makan dulu, setelah itu kau bisa disini." Jawabnya sambil tersenyum.
Sedangkan pria yang dipanggil Sing itu menatap sang kakak dengan berbinar. Hanya kakaknya lah yang sangat mengerti dirinya saat ini, ia tak pernah tahu apakah jadinya bila tak ada kakaknya disisinya.
"Terima kasih Phi Tay."
Tay memandang sendu pada adiknya yang saat ini duduk dikursi roda, ia sendiri begitu khawatir adiknya tak akan bisa sembuh. Tetapi ia yakin bahwa adiknya adalah pria yang kuat, hanya saja ia harus ekstra menjaganya Ia tidak ingin Singto melakukan hal yang tak terduga seperti tahun-tahun sebelumnya.
"Kita ke dokter ya?"
"Sekarang?" Bukannya menjawab, Singto kembali bertanya pada kakaknya yang saat ini terkekeh kecil.
"Nanti siang, kita bertemu dengan Dokter baru yang akan merawatmu."
"Wanita atau laki-laki?"
Tay hanya menahan tawanya melihat ekspresi sang adik yang menanyakan perihal Dokter yang menanganinya. Ia memang sejak dulu selalu tidak ingin jika dirawat oleh Dokter wanita, ucapan Singto membuatnya selalu ingat bagaimana ia begitu protektif padanya.
Seingatnya, dulu Singto pernah ditangani oleh Dokter yang sangat cerewet. Bahkan adiknya pernah terkena pukulan tangan Dokter itu saat membantah perkataannya. Hal ini yang membuat Tay takut jika Singto akan selalu trauma mengingat itu lagi.
Sekarang ia harus lebih spesifik mencari Dokter yang memang cocok dengan adiknya, apalagi jika tahu bahwa Dokter yang akan merawatnya nanti membuat Singto sedikit bahagia. Meskipun tak seperti dulu.
***
"Phi, benarkah jika Dokter itu laki-laki?" Tanya Singto lagi menatap sang kakak tanpa berkedip.
"Benar Sing, tenanglah. Tak akan ada kejadian seperti dulu terulang kembali."
"Baiklah."
Singto tak pernah membayangkan jika Dokter yang menanganinya akan melakukan hal yang tak terduga. Tega memukulnya karena ia membantah perkataannya dulu, masih terngiang diotaknya bahwa sang Dokter itu marah. Sejak saat itu ia tak pernah mau jika Tay menyuruhnya ke Dokter, ia akan selalu mengingat hal itu dan tiba-tiba menangis.
Katakanlah ia lemah, tetapi satu hal pasti yang ia yakini bahwa semua Dokter yang merawatnya akan kabur jika berhadapan dengan kemarahan Tay. Karena kakaknya bisa melakukan apapun untuknya selalu nyaman, meskipun harus rela mengeluarkan hartanya demi adiknya.
"Kau tunggu disini, aku akan kesana dulu." Ucap Tay mengelus kepala adiknya sambil tersenyum.
"Baik Phi."
Ia memandang bosan kearah sekelilingnya, akhirnya ia mengambil ponselnya yang berada disaku. Sementara dilain sisi, ada seseorang yang menatap Singto sambil tersenyum lembut dam merasakan kelegaan karena Singto mau pergi kerumah sakit menemuinya.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Ucap seorang resepsionis yang berjaga dibagian pendaftaran saat Tay menghampirinya.
"Saya Tay, ingin bertemu Dokter Krist."
"Tuan bisa menunggunya, saya akan memanggil Dokter Krist."
"Baiklah."
Tay menghampiri Singto yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya, kemudian ia mengusap pucuk kepala adiknya dan tersenyum. Ia akan memberikan yang terbaik untuk adiknya, tak pernah sekalipun ia berpikir bahwa adiknya tak akan sembuh. Ia selalu berharap Singto bisa kembali berjalan lagi seperti dulu.
"Tuan Tay?" Panggil seorang suster sambil membawa beberapa berkas ditangannya.
"Saya,"
"Silahkan masuk Tuan, Dokter sudah menunggumu didalam."
"Terima kasih Sus."
Mereka berjalan menuju ruangan yang tepat, saat diambang pintu Singto mengernyitkan dahinya menatap pintu yang bertuliskan nama Dokter tersebut. Tetapi ia tak mengambil pusing dan memilih menggelengkan kepalanya untuk menormalkan pikirannya tentang hal itu lagi.
"Selamat siang Dok,"
Sang Dokter hanya tersenyum menatap kedua pria itu, ia lebih memperhatikan pasien yang berada dikursi roda itu dibandingkan Tay.
"Saya sudah mendengarnya dari Dokter kepala mengenai Khun Singto, apakah Khun Singto siap untuk melakukan terapi lanjutan?"
Singto hanya terdiam dan menatapnya tanpa berkedip. Ia bingung harus seperti apa sekarang, pasalnya Dokter yang menanganinya adalah seorang pria yang ia cintai. Pria yang ditunggunya selama tujuh tahun ini, haruskah ia senang bertemu dengan Krist lagi?
"Sing, kau kenapa?"
Krist hanya terdiam menatap Singto yang termenung, ia melihat bagaimana mata itu berkaca-kaca tetapi seakan tak bisa melakukan apapun. Haruskah ia memeluk pria dihadapannya? Haruskah ia mengatakan bahwa ia juga merindukannya?.
"Sing, kau bisa berbicara dengan Dokter Krist. Phi akan menunggumu diluar."
"Tetapi Phi,"
"Lakukan sesuai hatimu, kau sudah bertemu dengannya." Balas Tay sambil tersenyum kepada adiknya.
Sepeninggalan kakaknya dari ruangan itu, Singto hanya bisa terdiam. Terlalu sulit untuk ia mengatakan sesuatu yang seharusnya sekarang ia ucapkan. Tetapi hatinya menjerit ingin memeluknya erat.
"Hai Phi Sing."
Singto tak menjawab, ini terlalu sulit untuk dirinya mencerna semuanya.
Krist berjalan menghampiri Singto dan memeluknya erat, ia terlalu lemah jika berhadapan dengan Singto lagi. Apalagi saat melihat pria tampan itu meneteskan air matanya, ia tak sanggup melihat itu lagi.
Pelukan itu masih sama, pelukan itu terasa hangat seperti tujuh tahun yang lalu. Singto bisa merasakannya bahwa tubuh seseorang yang memeluknya bergetar sambil terisak. Ia tak mampu menahan gejolak kerinduan yang terpendam dalam dirinya, hanya tangisan yang mampu ia salurkan pada pria yang sedang memeluknya erat.
"Maafkan aku Phi, maafkan aku yang selama ini menghilang dari pandanganmu."
"Maaf Dok, sebaiknya anda melepaskan pelukan ini." Ucap Singto dengan menangis dalam diam.
Dengan begitu, Krist lebih mengeratkan pelukannya sambil menggelengkan kepalanya. Ini sudah saatnya ia kembali, kembali ke pelukan seseorang yang telah menunggunya selama bertahun-tahun.
"Aku bahkan rela menunggumu seribu tahun lagi, hingga rambutku memutih. Tak peduli sekalipun kau hanya akan datang seperti angin lalu,"
Krist menatap Singto yang mengucapkan kata-kata sindiran halus itu. Tetapi itu sangat menyakitkan hatinya ketika Singto kembali menangis tanpa isakan, pria tampan itu hanya terus-menerus mengeluarkan air mata tiada henti.
"Cukup Phi, mulai saat ini aku akan selalu menghapus air matamu ketika jatuh. Merawatmu hingga kau dapat berjalan kembali dan memelukmu erat sebagai kasih sayangku padamu."
"Kau bahkan tak pernah sekalipun berubah, masih sama seperti dulu. Banyak bicara." Ia menatap Krist dengan tersenyum sambil menggapai jari-jari lentik itu.
Krist senantiasa meraihnya, ia genggam jemari Singto dan mengecupnya perlahan.
"Menjadi seorang Dokter membutuhkan waktu tujuh tahun?" Tanya Singto.
Pria manis itu menggelengkan kepalanya, ia tersenyum senang ketika pria tampannya mau menerimanya kembali.
"Aku mencarimu, beruntungnya aku bertemu Phi Tay dirumah sakit ini. Dia memaafkanku dan memintaku merawatmu hingga sembuh, apakah Phi Sing ingin berjalan lagi?"
"Jika kau Dokternya, dengan senang hati aku menerimanya."
Pipi Krist memerah, Singto tak pernah berubah. Selalu membuat dirinya malu ketika tiba-tiba pria tampan itu menggodanya.
"Kau harus menuruti semua yang aku perintahkan."
"Siap Pak Dokter." Jawab Singto dengan memberi hormat pada Krist dan tersenyum.
Ia tak pernah menyangka penantiannya selama ini membuahkan hasil. Krist, seseorang yang selalu ia tunggu telah datang. Kembali memeluknya erat dan menyembuhkan luka yang pernah ditorehkan pada hatinya.
'Terima kasih Tuhan, inilah jawaban doaku. Kau telah mengirimkan Krist kembali padamu. Aku rela melakukan apapun demi membuatnya tersenyum seperti tujuh tahun lalu.' Ucapan serta doa selalu ia panjatkan demi kelancaran hubungannya dengan Krist.
Sementara Tay, menatap sekilas senyuman sang adik dari kaca pintu tersebut. Ternyata keputusannya memaafkan Krist tak pernah salah, ini lebih membuatnya bernapas lega karena adiknya kembali tersenyum seperti tujuh tahun lalu.
END
KAMU SEDANG MEMBACA
SONGFIC - A Thousand Years (Cristina Perri)
Fanfiction#2ndPerayaRangersBday #4thPerayaAnniversary KUMPULAN ONE-SHOT