Hiruk pikuk pagi menyambut pertama kali indra pendengaran Junkyu, tinggal di perkampungan daerah Jongja yang setiap pagi dibangunkan oleh suara ayam dan kegiatan warga komplek sudah seperti sarapan bagi Junkyu yang tinggal dirumah peninggalan neneknya.
Sekarang dirinya sudah benar-benar tidak punya siapa-siapa, bodohnya dia saat lulus dari seleksi nasional masuk kuliah berjanji akan jadi dokter pribadi neneknya. Lihatlah sekarang dia ingkar dari janji itu, semuanya terjadi satu tahun lalu dia masih ingat ketika neneknya meminta dibuatkan teh kesukaannya. Junkyu begitu berbakti sampai teh itu penuh dengan air mata miliknya, bisa-bisanya wajah itu tertidur begitu tenang tanpa memberi pesan secarik pun.
Dia berjan keluar rumah, pandangannya melihat kearah bangunan lain yang berjarak 3 rumah dari tempatnya. Ia penasaran pada mobil yang menurunkan beberapa barang disana, sesekali ibu komplek menyapa pemilik rumah itu. Nenek Hamada, orang-orang sering memamingilnya begitu. Orang asli Jepang yang menetap di Jongja sejak Indonesia merdeka.
"Itu siapa woo." tanya Junkyu yang ngeliat Jungwoo sedang sibuk nyuci motor bebeknya didepan rumah.
"Cucunya Nek Hamada, katanya mau kuliah di tempat kita." Jungwoo masih sibuk nyuci motor bebeknya namun tak lama melihat kearah sana.
Dari kejauhan keluar cowok tinggi dari mobil yang bawa muatan tadi, dia ngelambai tangan kearah Jungwoo. Yang di lambai juga ikutan say hello sambil megangin selang. "Lah, Mbah Hamada punya saudara di Jepang." Junkyu pikir selama ini Nenek Hamada memilih menetap di Indonesia karena sudah tidak memiliki saudara di tanah kelahiran jadi memilih menetap disini menikmati masa tua.
"Punyalah satu, kata ibu aku dia ikut Bapaknya balik kejepang. Cewe, trus tinggal disana." Jelas Jungwoo balik nyuci motor "Terakhir main sini pas waktu aku smp sama suaminya, anaknya dua yang pertama cowok trus yang bungsu cewek."
Ngak lama orang yang ngelambai tadi jalan kearah Jungwoo ama Junkyu, nyapa temen lamanya. "Eh anjir to, udah kaya Pocongan aje lo. Tinggi bener gue kalah." Jungwoo yang langsung ngeplak pundak Haruto tanpa ngajak salaman atau peluk dulu padahal udah 5 tahunan mereka ngak ketemu.
"Sakit bego." ucapnya singkat.
"Kenalin tetangga baru kita sekaligus senior lo nanti di kampus, abang Junkyu. Anak Kedokteran semester 4." tanpa basa-basi langsung to the poin, ngak perlu minta ijin toh yang di kenalin kepo juga tapi gengsian.
"Haruto bang, anak Teknik Informasi." jabat tangan Junkyu yang masih cengo.
"Maba ya." ngak ada maksud negatif kok Junkyu.
"Iya bang." Haruto jadi canggung sendiri.
"Jangan telat ya nanti berangkatnya." senyum Junkyu tapi rasanya jadi ngeselin di mata Haruto yang tertutup dosa.
.
Disinilah Junkyu sekarang, ngegalau sambil stress mikirin gobloknya dia kenalan sama Haruto tadi. Kantin yang mayoritas pada sibuk makan Junkyu juman pesen minum teh anget sambil nginget-inget yang dia lakuin tadi. Malunya ampe ke pankreas, bisa-bisanya dia tadi bilang gitu ama anak jutek modelan Haruto. Junkyu tau kalo Haruto anaknya pendiem, tapi dengan gobloknya dia malah cari masalah.
"Salah siapa jadi orang mulutnya licin gitu kaya minyak jelantah." sindir Jihoon yang masih sibuk makan.
"Heh, ngejeknya kok bikin emosi." julid Junkyu yang asik naroh kepala di meja.
"Lo ada kelas ngak." tanya Jihoon yang udah kelar sarapan.
"Ngak, lo duluan aja."
"Yaudah duluan ya, di pelihara itu mulut biar makin subur." Jihoon nepuk pundak Junkyu terus pergi ninggalin sahabatnya ngegalau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Line Of Memories [Harukyu]
Novela JuvenilSebagai dokter adalah kewajiban bagimu menyelamatkan sebuah nyawa tapi tidak dengan luka yang telah tergores begitu dalam. "Tidak ada kebahagiaan yang abadi di dunia ini, terimalah takdirmu haruto."