"Kamu! Yang diam--diam masuk ke barisan, maju sini!"
Ah, sialan! Telunjuk Pak Davian menunjuk tepat ke hidungku. Lagi pula, kenapa juga dia berbalik tepat saat aku menyelinap?
"Buruan! Jangan malah ngumpet!"
Aish! Guru baru itu memang tidak bisa dinego, ck!
"Baik, Pak." Aku mengangguk pelan, diikuti tatapan teman-teman yang mencibir sambil tertawa cekikikan.
Dengan langkah pelan, aku keluar dari barisan. Ini semua gara-gara Kak Aria! Kalau saja dia tidak mengantar pacarnya lebih dulu, pasti aku tidak akan terlambat! Dasar bujang lapuk bucin yang doyan daun muda!
"Kamu kenapa cemberut? Nggak suka?"
Aku tergagap. "Ah, eh, bukan, Pak! Saya nggak ngatain Bapak, kok. Sumpah!"
Aku gelagapan menjawab Pak Davian. Apa tadi ... aku mengumpat?
"Jadi, kamu suka ngatain saya?"
Lagi-lagi, guru olahraga ini mengejar dengan pertanyaan baru. Sementara tak jauh di sana, di tengah lapangan basket, semua teman-temanku mulai menertawakan ketakutanku.
"Iya, tuh, Pak. Si Auri emang suka gosipin Bapak!"
Mataku membulat ketika salah satu teman menyahut. Lalu, celetukan seenak jidat tadi disambut tawa gemuruh. Bisa-bisanya mereka malah menyudutkanku? Awas saja kalian!
"Oh, jadi begitu?" Pak Davian mendekat dengan langkah tegap yang khas.
Biasa aja kali, Pak. Nggak usah sok gagah. Mentang-mentang guru olahraga, pengen banget deh, dibilang sehat dan atletis!
"Nggak, Pak. Mereka aja yang fitnah." Aku membela diri, melayangkan tatap penuh ancaman pada barisan yang mulai bubar.
"Lagian ... ghibah kan hak azasi." Aku bergumam. Sialnya, Pak Guru ini punya telinga yang tajam, sampai kata hatiku pun mungkin tertangkap olehnya.
"Sekarang, kamu lari keliling lapangan empat kali, lalu pemanasan sepertu yang lain!"
"Lapangan basket?" Aku mengangkat wajah, balas menatapnya.
"Lapangan itu!"
Aku melongo ketika melihat jari telunjuknya mengarah ke lapangan sepak bola. "Hah? Empat kali? Bukannya kalo keliling lapangan bola biasanya cuma dua kali, Pak--"
"Lima kali"
"Tapi, Pak. Ini--"
"Enam kali!"
"Oke! Empat kali!" Aku menyela seraya mendengkus. Sementara dia terkekeh penuh kemenangan.
"Selalu ada hukuman buat yang terlambat. Dan ini buat keterlambatan kamu yang ketiga di kelas saya. Apa kamu pikir saya tidak tahu kamu selalu datang belakangan tiap jam olahraga?" Dia berkata sambil melirik sudut kanan lapangan basket.
Ya Tuhan ... apa dia ini cenayang? Kenapa sampai tempat penyimpanan tasku pun dia tahu?
Aku tak lagi menjawab, memilih mulai melaksanakan hukuman. Ah, lapangan ... bisakah menyusut sedikit? Kasihanilah aku yang imut ini.
Dua putaran sudah kulalui tanpa kendala berarti. Sementara teman sekelasku yang lain sudah mulai mengambil jenis olahraga yang mereka ingini. Ada yang bermain basket, bola voli, takraw, ada juga yang hanya duduk-duduk di tepi lapangan sambil mengipas keringat.
Sejak guru baru ini datang, pelajaran olahraga memang dimulai lebih cepat. Jika guru yang lama mulai pemanasan jam setengah delapan, maka Pak Davian sudah menunggu di lapangan basket tepat jam tujuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pak Guru Sayang
General Fiction"Pak Davian ...." Dia menghentikan langkah, berbalik dan menatapku. Sialnya, aku lupa apa yang akan kuucap selanjutnya. Lalu, entah dari mana datangnya, pertanyaan asal meluncur begitu saja dari mulutuku. "Apa Bapak nemenin lari semua murid yang te...