Berantakan

501 65 9
                                    

"Hah?"

"Ulangan?"

"Yaaah ... nggak bisa gitu dong, Bukk!"

Suara-suara putus asa itu menggema di kelas. Ulangan matematika di jam pertama plus tanpa pemberitahuan, memang selalu menjadi shock theraphy yang ampuh bagi siswa yang hobinya tidur. Apalagi jika mata pelajaran itu dikawal guru killer seperti Bu Tasya.

"Ya mau gimana lagi? Kan ibu sudah sampaikan sama kalian, kalau semester dua ini nggak akan ada penyampaian soal ulangan?" Bu Tasya menjawab santai.

Tak lama, guru berbadan langsing itu menyiapkan tumpukan soal, dan melangkah perlahan. Saat dia melangkah, desahan frustasi masih terdengar dari sebagian siswa laki-laki. Mereka menggerutu, tak siap dengan hasil yang berantakan nantinya. Jika belajar saja matematika masih membuat jantung dag dig dug, bagaimana dengan ulangan dadakan?

Bu Tasya melangkah anggun, menyisakan aroma wangi dari parfumnya yang khas. Campuran jasmine dan berry yang menguar dari tubuhnya menambah kesan feminin. Tatapan mata yang tajam membuat dia menjadi salah satu role model buatku. Menurutku, perempuan pintar dan memiliki sikap tegas itu ... seksi.

"Ri, bantuin, dong!" Lily menyikut lenganku. Seperti biasa, ahli biologi se-Bakti Persada ini akan mati kutu saat pelajaran satu ini.

"Dengan resiko kalian keluar dari kelas, dan nggak boleh ikut les tambahan pelajaran saya!"

Belum juga aku menjawab, Bu Tasya lebih dulu menyela. Ah, iya. Selain tatapan yang tajam, ternyata telinganya tak kalah sensitif. Terbukti, bisikan Lily pun dia dengar.

Aku terkikik geli melihat Lily yang cemberut. Lalu, panggilan Bu Tasya mengagetkanku.

"Saya, Bu?" Aku menunjuk diriku sendiri seraya menatap guru yang bersedekap itu. Ah ... lagi-lagi, stelan jas hitam dan dalaman pink itu membuat aku kagum dengan keanggunan Bu Tasya.

"Kamu ke sini, duduk di kursi ibu." Bu Tasya menunjuk kursinya yang berada di bagian depan.

Aku hanya mengulum senyum, dan secepat mungkin meninggalkan bangku. Lega rasanya. Sebab dengan begini, tak akan ada yang berani memberi kode untuk meminta jawaban. Sebagai pemenang olimpiade tingkat provinsi, reputasiku untuk mata pelajaran ini sudah pasti di atas rata-rata. Hah!

Lagi-lagi aku mendengar decak kecewa dari teman-teman. Maklum, kesempatan mereka untuk dapat contekan berantai pupus sudah. Maka, untuk menggoda mereka, aku berbalik, lalu membungkuk sambil memegangi ujung rok. Anggap saja, aku adalah seorang putri sekarang. Putri yang uluran tangannya di nanti oleh rakyat seluruh negeri.

Astaga! Membayangkan itu, aku jadi geli sendiri, sampai tak tahan untuk tertawa. Sementara teman-teman yang lain menatap sebal. Anggap saja, ini balasan karena kemarin mereka menertawaiku di jam olahraga.

"Tunggu, Auri."

Langkahku menuju kursi empuk itu terhenti. Aku berbalik, menatap Bu Tasya yang berdiri di dekat papan tulis. Dia menatapku tajam, dari ujung kaki hingga kepala.

"Kamu pake rok baru?"

Ah, mati aku! Ini kan Kamis? Kenapa aku memakai rok yang ini?

Aku menggeleng cepat. "Nggak, kok, Bu. Ini ... ini yang biasa saya pake. Rok saya kan cuma--"

"Balik!" Bu Tasya berkata ketus. Maka, aku segera berbalik. Lalu, terdengar dia berkata, "itu naik sekitar lima senti, pas dua jari di atas lutut. Jadi, nggak ganti?"

Astaga! Detail sekali dia!

Aku menggigit bibir, lalu berbalik cepat. "Tapi, saya pake daleman panjang kok, Bu!"

Pak Guru SayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang