Sampai ke Hati

337 58 2
                                    

Jam kimia baru selesai. Meskipun bel sudah berbunyi sejak tadi, tetapi khusus untuk pelajaran ini semua murid tetap anteng. Mungkin mau kasak-kusuk juga takut. Takut kalau sampai Bu Patricia marah, dan membuat larutan yang bisa membuat kami semua berubah jadi mutan.

"Lo dijemput, 'kan? Yakin kakak lo nggak telat lagi?" Lily menyikut lenganku.

Sejak tadi memang dia berusaha membuka percakapan, tetapi aku memilih diam. Sebab kepalaku masih penuh dengan hal-hal menyangkut selebaran di mading tadi. Sebenarnya, aku sudah berusaha fokus. Akan tetapi, tetap saja semuanya mengganggu.

Kuperhatikan dia yang sibuk memasukkan jas praktikum, lalu memasukkannya dalam tas. "Iya. Kenapa emang?"

"Kalo nggak dijemput, balik bareng gue aja. Gue bawa helm dua. Daripada nebeng Nicholas dan kena gosip lagi."

Aku mencebik. Setelah bercerita padanya, aku memang sedikit lega. Sebab, tak ada lagi tuduhan dari orang yang detail dan telitinya sudah seperti pengacara kondang.

"Ngikut lo juga bahaya kali. Nggak ada SIM gitu. Ntar kalo ditilang gimana?"

"SIM gue udah jadi, dong. Pas habis ulang tahun kemaren, kan langsung dibikinin. Emang elo--"

"Gue kenapa? Cantik? Makasih!" Aku menyela, dia tertawa.

"Ya udah. Gue balik, ya." Dia menjauh sambil melambai.

Aku masih berdiri di depan laboratorium, sampai Lily berbelok ke area parkir sepeda motor. Semetara teman yang lain sudah pergi, pintu ruangan pun sudah kembali terkunci. Sayup-sayup  masih terdengar tawa  murid lain, mungkin dari bangunan belakang.

Gegas aku berbalik dan menuju loker. Biasanya, aku akan membawa pulang jas praktikum usai digunakan. Namun, hari ini aku memakai tas tak begitu besar, dan sudah berat. Jadi, lebih baik kutitipkan saja ke ibu pemilik kantin.

Usai menyimpan beberapa barang ke loker, aku menuju kantin. Konon, saudara Ibu Kantin adalah pemilik laundry. Jadi, sering dia menerima jasa mencuci pakaian olahraga dan jas praktikum milik siswa. Dia bahkan menyiapkan semacam kantong khusus untuk siswa jurusan IPA. Hebat, 'kan?

Dengan penjaga kantin ini, aku terbilang akrab. Sebab, sering kali aku menjadi penghuni satu-satunya ruangan ini, tiap kali selesai ulangan lebih dulu dari yang lain. Secara khusus, aku meminta satu jenis air mineral merek tertentu, agar dijual di tempat ini.

"Mau titip jas, Neng?"
Si Ibu menyapa semringah saat aku masuk. Wajar, sebab aku kemari di jam seperti ini memang sudah tentu mau membawa pakaian kotor.

Aku hanya tersenyum sembari menyerahkan uang, setelah lebih dulu mengambil air mineral.

"Neng Auri yang sabar, ya."

Aku yang hendak pergi akhirnya menghentikan langkah, menatap wajah wanita paruh baya ini. "Emang kenapa, Bu?"

Dia tampak salah tingkah. "Yang kemarin itu ...."

"Apa mungkin ... aku jadi bahan di sini?"

"Tadi, ibu denger dari Neng Pricil dan teman-temannya."

Aku menghela napas panjang. "Tapi, Ibu percaya sama aku, 'kan?"

"Makanya, ibu bilang Neng Auri banyakan sabar aja. Fokus buat ujian aja, ya, Neng."

Aku tersenyum, lalu berpamitan. Jika dipikir-pikir, Ibu Kantin benar juga. Buat apa aku memikirkan masalah yang tidak benar?

Sembari mendengarkan lagu melalui earphone, aku melangkah memutari taman kelas X. Dari sini, gerbang lebih dekat dibanding harus memutari laboratorium. Lagi pula, di gedung bagian tengah itu ada beberapa pohon rimbun, yang membuat aku bergidik jika harus berjalan sendirian. Sekolah yang sudah sepi, mau tak mau menimbulkan gema dari derap kakiku sendiri, dan itu agak menyeramkan.

Pak Guru SayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang