"Terus, Kakak dateng jam berapa? Jadi, aku naik taksi, nih?" tanyaku sembari memajukan bibir. Mungkin, saat ini aku terlihat seperti donal bebek sangking kesalnya.
Bayangkan saja! Sejak jam sebelas tadi hujan deras dan sampai sekarang aku terjebak sendirian di kantin sekolah. Kak Aria yang berjanji akan menjemput membuatku menunggu, dan sekarang seenaknya saja bilang kalau dia akan terlambat. Memangnya, aku harus di sini sampai malam?
"Kakak baru selesai satu jam lagi. Kamu nggak papa nunggu di situ?"
"Ya kalo gitu, tadi harusnya Kakak nggak bilang mau jemput, dong! Kan aku bisa naik taksi online!" Aku masih mengajukan protes sambil mencebik, seolah-olah dia melihat.
"Jadi?" Suara di seberang itu terdengar ambigu. Ya, antara memberi penawaran atau mengejek, karena saat ini dia pasti tahu jika aku sedang kesal setengah mati.
"Aku naik taksi aja. Ngapain nunggu sejam lagi?"
Kuakhiri panggilan, lalu menuju kasir. Setelah membayar minuman dan beberapa makanan ringan, kutinggalkan kantin dengan langkah sedikit berjingkat. Hujan memang tak lagi sederas tadi, tetapi masih menyisakan gerimis yang lumayan.
Aku mengeluarkan ponsel sesampainya di gerbang. Sesekali mengibas bagian depan baju yang terkena tetesan air. Satu hal yang melengkapi penderitaanku siang ini adalah ... ponselku kehabisan daya. Whatta day, aaarrgh!
"Mau pulang?"
Suara dari arah belakang membuat aku berbalik. Tak jauh dariku, tampak seorang berkaus putih melongok dari jendela mobilnya. Nicholas.
"Ah, i-iya, nih. Lagi nungguin taksi." Aku menunjukkan layar ponsel, yang sebenarnya kehabisan daya.
Tampak Nicholas melihat ke atas, seperti memastikan bahwa dari langit yang gelap itu akan turun hujan lebih deras, tak lama lagi.
"Dapet taksinya?"
Aku meringis, menggigit bibir. "Masih sibuk, nih. Tapi, pasti bentar lagi aja."
"Yakin?" tanyanya lagi.
Dia masih di sana, tak menggeser kendaraannya sedikit pun. Beruntung ini sudah lewat waktu pulang, jadi tak ada kendaraan keluar masuk. Security pun tampaknya tak keberatan, sebab mereka tahu siapa pemilik mobil sport berwarna merah ini. Sehingga bagi Nicholas, aman-aman saja berhenti tepat di tengah gerbang.
Aku mengangguk ragu, lalu berakting mengecek layar ponsel.
"Selain tarif naik dua kali lipat, kalo hujan begini biasanya taksi online datengnya lama. Beneran nggak apa-apa?"
Ah, kupikir dia sudah mau pergi!
"Aku--"
"Masuk."
"Hah?"
Tampak pintu bagian depan mobil terbuka, lalu Nicholas melihat ke arahku. Tepatnya, ke arah dadaku. Apa dia ... semesum itu?
"Masuk ...." Dia menjeda kalimat, masih memicing ke arah dadaku. "Auri."
Ah! Ternyata dia membaca namaku! Tadinya kupikir ....
"Nggak, makasih. Aku naik taksi aja." Aku mengangguk sopan, agar dia tak tersinggung atas penolakan yang kuberikan. Bagamanapun, dia orang asing bagiku.
Akan tetapi, tak lama kemudian dia turun, lalu mendekatiku. Diraihnya pergelangan tanganku, lalu dengan setengah memaksa, dia membawaku ke mobilnya. Sementara untuk menolak ....
Eh, ini beneran nggak apa-apa? Gimana kalo besok ada yang ngeroyok dan ngunciin aku di toilet gara-gara aku masuk mobil idola mereka?
"Kalo lo nggak enak numpang gratisan, gue juga mau dibayar, kok." Nicholas berkata sambil memasang sabuk pengaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pak Guru Sayang
General Fiction"Pak Davian ...." Dia menghentikan langkah, berbalik dan menatapku. Sialnya, aku lupa apa yang akan kuucap selanjutnya. Lalu, entah dari mana datangnya, pertanyaan asal meluncur begitu saja dari mulutuku. "Apa Bapak nemenin lari semua murid yang te...