Kesempatan?

404 57 17
                                    

Sejak acara ulang tahun teman Nicolas beberapa waktu lalu, aku merasa tak ada yang baik-baik saja. Entah mengapa, hariku jadi berbeda, aku sampai tak bisa fokus sama sekali.

"Try out kamu yang terakhir dapat nilai 7, Auri. Tu-juh!" Bu Tasya menekan suaranya kala menyebut angka tujuh.

Saat ini, kelas baru saja usai, dan seperti biasa aku membantunya membereskan beberapa buku yang akan dia bawa keluar. Sementara itu, teman-teman yang lain masih duduk manis di tempat, karena setelah ini akan ada penyampaian penting. Soal apa, aku pun tak tahu. Mungkin soal bimbel tambahan, karena waktu ujian akhir sisa beberapa bulan saja.

"Maafkan saya, Bu Tasya. Saya--"

"Ibu nggak nuntut permintaan maaf, Auri. Tapi, kamu jangan begini. Menjelang ujian, harusnya kamu sudah siap. Bukan malah kendor gini semangatnya."

"Baik." Aku menunduk, tak berani menatapnya.

"Beberapa waktu belakangan, kamu mungkin sibuk dengan urusan pribadi kamu. Ibu nggak mau ikut campur, tapi please ... jangan sampai urusan hati itu mempengaruhi nilai kamu. Apa pun itu, tetaplah fokus."

"Bu--" Kalimat yang akan aku ucapkan berhenti ketika Bu Tasya menangkup jemariku di meja.

"Ibu tau kamu lagi happy banget. Tapi, ingat satu hal. Mau kamu se-happy apa pun, belajar tetep nomer satu. Janji sama Ibu?"

Kutatap Bu Tasya dengan saksama. Happy? Bagaimana bisa dia bilang bahwa saat ini aku sedang berbahagia? Apa mungkin Pak Davian bercerita padanya soal aku dan Nicholas?

Beberapa detik kemudian, aku masih tak menjawab apa pun. Sampai Bu Tasya bangkit seraya tersenyum padaku. Lalu, perhatian kami semua tertuju ke pintu, seseorang mengetuk dan mengucap salam.

Bu Tasya yang memang hendak meninggalkan ruangan kini berjalan menyambut. Dia menuju pintu, masih tersenyum selembut tadi. Sementara itu, aku masih mematung di sisi meja guru.

"Silakan, Pak." Bu Tasya berkata sebelum benar-benar meninggalkan kelas.

Guru yang baru masuk itu melihat ke arahku, dengan tatapan seperti beberapa malam yang lalu. Tajam, susah diartikan, dan membuat aku mati kutu. Jangankan kembali ke bangku, bergerak saja rasanya aku tak mampu.

Pak Davian menuju bagian tengah depan kelas. Itu berarti posisi kami semakin dekat. Lalu, bagaimana harus aku ceritakan betapa gugupnya aku sekarang?

Setelah kami semua membalas salamnya, ia memulai, "Soal olahraga besok, kita kumpul di sekolah jam tujuh tepat, dan jangan ada yang terlambat."

Dia menjeda sesaat. Ketika menyebut angka tujuh, dia melirikku sekilas. Iya, iya. Aku yang selalu terlambat. Tapi, liriknya biasa aja kan bisa? Ck!

Oh, iya. Pada saat dia menyampaikan arahan begini, tentu saja memberiku kesempatan menatapnya dengan saksama, tanpa takut mendapat balasan tatap mengintimidasi. Tetapi, melihatnya dari jarak sedekat ini justru membuat aku kehilangan fokus berkali-kali.

Celana training berwarna hitam, kaus olahraga dilengkapi name tag tergantung di lehernya beserta peluit. Rambut tersisir rapi, jam tangan hitam yang tak pernah ketinggalan ... secara  fisik dan penampilan, Pak Guru satu ini memang cakep.

"Bawa pakaian renang kalian masing-masing, karena besok kita akan melakukan pengambilan nilai."

"Pak, ceweknya pake bikini, nggak?"

Celetukan itu membuat seisi kelas yang semula tenang menjadi gaduh. Ada yang tertawa, juga menyoraki si pengucap.

"Semua pakai baju dari sekolah. Yang bajunya hilang atau apa pun itu, silakan hubungi Bu Mila. Semua seragam ready, jadi tidak ada alasan buat kalian mau pakai baju yang beda."

Pak Guru SayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang