○Sluggish Man

103 37 74
                                    

Sejujurnya... aku tak pernah menyangka, ternyata dunia benar-benar menertawaiku.

Jadi, inikah hidup yang (katanya) indah itu? Saat pikiran mulai terbuka, saat netra mulai menjelajah sesuatu, percayalah! Saat itupun aku menatap ke langit. Wah, atapnya begitu luas untukku yang seukuran debu ini. Iya, debu yang menari-nari diterpa angin.

Satu-persatu pertanyaan aneh terbesit dibenak dan membentuk sebuah tanda tanya: actually... aku ini apa? Aku berasal darimana? Dan tujuanku berdiri disini dengan mata yang masih menatap birunya langit, juga untuk apa?

Benar-benar pertanyaan yang aneh, yang ku yakin di usiaku saat ini belum mampu menjawabnya. Sekedar menunggu detik jam berputar kekanan, seraya menanti jawaban. Atau sekedar membayangkan detiknya berubah haluan kekiri? Entahlah...

"Leon!!!" Teriak wanita kepala tiga yang berlari kearahku, jelas dia Ibuku. Dengan bercucuran keringat dan airmata yang padu. Membuatku sulit membedakannya.

"Lari!!" Teriaknya sekali lagi.

"Ayo cepat ikut Ibu, Ayah berulah lagi!" Kalimat yang pastinya sudah terdengar biasa namun kesannya tetap scary!

Wanita itu menggigit bibir bawahnya dan mecoba menahan pecahan tangis yang ingin terlepas dari bendungan kelopak matanya. Aku yang digenggam erat olehnya hanya bisa terdiam patuh. Tapi sejujurnya aku tahu kok, apa yang sedang terjadi dengannya. Entah dibagian tubuh manalagi yang sudah dilayangkan pukulan keras Ayah kali ini.

"Bu, aku capek!" Sahutku.

"I-iya nak, kita istirahat sebentar. Mungkin saja lelaki bajingan itu sudah kehilangan jejak kita." iapun memperbaiki kancing bajunya yang terlepas, aku yakin itu karena tarikan yang kuat. Dan sudah pasti ada unsur paksaan didalamnya.

"Leon! kenapa kamu duduk ditepi sungai lagi, kan sudah ibu larang kan? Kamu itu masih kecil, apalagi sampai melamun begitu. Mau kesambet? Sudah seperti pria dewasa saja kamu ini." tanyanya sekaligus mencelaku. Aku yang perawakannya memang pendiam, hanya bisa membalas beberapa kata saja.

"Dirumah ribut Bu," ucapku yang sontak membuatnya ingin mengulang tangisannya.

"Leon! Maafin Ibu yah Nak! Sampai melibatkan telingamu yang tidak berdosa itu ikut campur dalam urusan Ibu dan Ayah." kali ini ia menatapku sayu, bahkan begitu sayu. Bebannya begitu intens terlihat, seakan memikul bukit dipundaknya.

"Berjanjilah untuk tidak menyontohi orangtua bodohmu ini Nak, hiduplah seperti bintang yang bercahaya tanpa bantuan objek lain. Kamu harus menjadi pria yang tangguh, Ibu tau kamu lebih dari kata (bisa) untuk melakukannya. Karena kamu itu anak Ibu yang hebat." Nasihatnya yang sukses membuatku jatuh ke pangkuannya lalu menangis. Diam-diam begini aku sudah terlatih sejak kecil dengan masalah yang memaksaku untuk selalu mendengarnya. Idk, tapi selalu saja aku yang lari.

"Jangan bertingkah sok kuat lagi Bu, aku tau ibu itu rapuh. Seharusnya anak bodohmu inilah yang mengambil peran itu untuk menyemangatimu. M-maafkan aku Bu." Aku menangis, menangis bersama Ibu dibawah pelukan perut pohon yang lebat disore hari yang gelap itu.

"Sudah Nak, kamu gak boleh cengeng! Sebentar lagi kan udah mau masuk 'Sekolah Dasar'. Anak Ibu harus jadi pria tangguh sekuat baja." tangannya yang lemah itu mengusap airmataku.

....

Damn it! Lagi dan lagi aku terjebak diingatan masa lalu yang kelam itu. Padahal aku ingin melupakannya, ingin menguburnya sedalam-dalam mungkin. Tapi, entah kenapa setiap mengingat insiden itu, rasanya seperti memutar kaset Horror berdurasi seminggu nonstop. Teringat saat tubuh Ibu tergeletak dilantai dengan bercak-bercak darah yang mengalir ditubuhnya akibat tusukan benda tajam. Nafasnya terhenti, yang pasti ia sudah tiada. Akupun bahkan tidak percaya Ayah sampai tega melakukan hal sekeji itu dan membunuh harapan anaknya. Hingga saat ini aku tidak melihatnya lagi sebagai sesosok Ayah yang seharusnya menjadi Superheroku. Melainkan hanya seekor Monster buas yang haus darah. Sepertinya jeruji besi masih belum cukup buatnya!.

Oz.NapoleonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang