○Tatapan getir

55 24 36
                                    

Di atas 'countainer' tua ini, aku sibuk bertatapan dengan bintang. Rapuh, Container ini mulai berkarat dan sedikit hancur. Tak jarang hujan menyelubung masuk disela-sela lubang membanjiri lantainya. Ketika hujan turun, hal yang selalu kulakukan hanya duduk terdiam di atas meja sambil memeluk bantal yang sama sepertiku, takut kebasahan.

Ingin sekali rasanya mengeluh, meninju perut bumi dan memarahi hujan yang selalu mengencingi istanaku. Tapi, aku tau! Kepalan tanganku tidak cukup kuat, suaraku pun kecil. Tidak akan berdampak sedikit'pun bagi objek besar nan arogan yang kusebutkan tadi. Semua itu hanya sebatas hal yang sia-sia. Menganggap benda mati seakan-akan hidup, itu memang ciri khasku sekali.

Aku selalu berharap, semoga sisa uang penjualan rumah orangtuaku tidak habis sebelum aku lulus sekolah. Tersisa 1 semester lagi, perjuanganku tidak boleh terhenti karena alasan yang lemah.

12 juta rupiah. Jumlah uang yang seharusnya menjadi tumpuan hidupku saat ini; dan untuk enam bulan ke depan. Aku harus lebih mengirit jajan dan harus tetap hidup.

"Leon!!" Teriak seorang wanita dari kejauhan yang sukses membuatku membalikkan pandangan ke belakang. Ia berlari semakin dekat, dengan tas ransel cokelat dipunggungnya.

"Huh capek.... Jadi, ini tempat tinggal kamu yah?" Aku mengucek mata sekedar memastikan dia siapa?

"Tara?" Gumamku pelan.

"Iya ini aku. Fiuh, beberapa hari yang lalu aku mencari tau lokasi rumah kamu. Karena kehabisan informasi, akhirnya aku nekat mengikutimu setelah pulang sekolah kemarin." ucapnya dengan napas tak beraturan.

"Buat apa? Ada keperluan?" Balasku.

"Selain perawakan yang nyentrik, kamu juga tipe cowok yang gak pekaan yah?" Ucapnya seraya memperbaiki napasnya. 

"Oi, cara naik di atas situ gimana?" Tanya nya.

"Manjat!" Jawabku singkat.

"Kupukul mau?" Cetusnya kesal.

"Ahiya maaf-maaf, masuk lewat pintu samping. Tangganya berada didalam, kalau kuncinya ada di dalam sepatu dekat tong sampah." Ia pun melakukannya.

Masih tidak habis pikir. Heran saja, dia Astara teman se-kelasku. Cewek terpintar yang berhasil menyapu rata peringkat kelas. Selain itu, dia juga familiar dimata orang-orang. Tapi, ngapain dia ke sini? Sepertinya ada yang aneh!

"Sepatumu bau, kubuang di tempat sampah aja gimana?" Ucapnya sambil mencoba membuka pintu, iapun naik dan duduk di sebelahku sambil mangacak-acak isi tas nya. Aku memperhatikan dia begitu antusias.

"Beres!" Ucapnya sambil mengangkat box pink setinggi dada.

"Nih sarapan buat kamu!" Tawarnya.

"Ini sore," balasku singkat.

"Hehe maaf ralat." Balasnya sambil tersenyum lebar, bola matanya hampir tidak kelihatan. Ketahuilah, ini kali pertamanya aku berbicara secara langsung dengan dia selama hampir 3 tahun.

"Kenap-" tanyaku, yang dengan cepat ia memotongnya.

"Syut... makan dulu baru ngomong." Potongnya.

"Aku kenyang!" Balasku yang sejujurnya memang lapar sih, dari wajahku pun yang mencium aroma ikan goreng memang tidak bisa berbohong. Benar-benar wangi, oh Tuhan.

"Pipimu memerah. Kamu lapar,'kan?"

"Pipiku cokelat!"

"Kugebuk kotak nasi mau?" Kesalnya.

"Leon!" Ucapnya sambil menunduk.

"Apa?" Balasku.

"Bisa serius tidak? Jangan buat waktuku sia-sia tanpa mendapatkan jawaban apapun!" Tegasnya.

Oz.NapoleonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang