Olivia terkejut melihat senior yang sudah lama tidak dilihatnya tiba-tiba pingsan. Setelah memeriksa tubuhnya, ada sebuah luka di perutnya. Ia sadar tindakan yang tepat adalah membawanya ke rumah sakit, namun tampaknya Nathan tidak ingin siapapun tahu keberadaannya.
Hal yang bisa dilakukan hanya mengandalkan dirinya sendiri dan kotak medis untuk mengobatinya.
Setelah memastikan obat anestesi bekerja dengan baik, Olivia mulai memanaskan jarum untuk mensterilkan ujungnya. Dengan telaten menjahit luka seperti hasil tusukan benda tajam. Butuh beberapa saat sampai ia selesai menutup luka dan membalut perban.
"tubuhnya sedikit demam."
Olivia meletakkan kompres di atas kepala Nathan. Tubuhnya berkeringat kembali setelah peristiwa yang menimpanya. Ia baru saja mandi beberapa saat lalu. Namun tubuhnya menyerah, ia jatuh tertidur di sebelah tempat tidur.
Celah-celah sinar matahari menelisip masuk, Olivia mengerjap beberapa kali merasakan beberapa bagian sakit karena tertidur di lantai dengan kepala dan tangan menumpu sisi ranjang.
Olivia keluar dari kamar tidurnya, melihat barang belanjaannya yang jatuh berserakan di lantai. Ia sempat kehilangan nafsu makan, namun keadaan telah kembali tenang rasa lapar mulai melingkupinya.
'kurasa aku akan membuat sarapan dahulu.'
Dengan bahan sederhana ia mencampurnya menjadi satu, memanggang roti di atas teflon. Sepiring sup dan roti panggang tersaji di atas meja. Olivia makan dengan tenang, mengisi tenaganya yang terkuras.
Ia sempat memeriksa keadaan pasien yang masih tidak sadarkan diri, mengganti kompresnya dan perban di luka luar. Setelah kekacauan kemarin, ia belum sempat merapikan apartemennya dan memutuskan untuk menatanya sembari menghabiskan waktu.
"senior sudah sadar?"
Olivia tengah memeras handuk saat melihat kelopak mata Nathan bergerak sebelum akhirnya terbuka. Refleks, Nathan mencoba mengubah posisinya untuk duduk sebelum terhenti saat merasakan sakit di area perutnya.
"ugh."
"jangan banyak bergerak, lukanya bisa terbuka lagi nanti."
Nathan menatap Olivia, pria itu seperti memiliki banyak pertanyaan.
"senior sedang berada di apartemenku, semalam senior pingsan setelah menodongkan pistol ke arahku."
Pria itu mengendorkan kewaspadaannya "kau bilang kau adalah Liv.... kau terlihat sedikit berbeda."
Siluet juniornya yang dikenalnya dulu memang sepertinya, namun rambutnya yang sekarang pendek dan kacamata berlensa lebar membuatnya sulit dikenali pertama kali.
Olivia memegangi ujung rambutnya "aku sedikit memotongnya dan kacamata untuk membantu menutupi mataku. Ngomong-ngomong senior pasti lapar, aku akan membawakan makanan."
Gadis itu membawakan sepiring sup dan roti di atas baki. Memberikannya pada pria yang tengah terbaring di ranjangnya.
"apa senior mau kusuapi?" Olivia bertanya polos tanpa ada maksud tersembunyi.
Wajah pria itu memerah menahan malu "tidak perlu."
Olivia mengangguk, membantu seniornya duduk agar bisa makan.
"kau tidak ingin menanyakan apapun padaku?"
Nathan kembali membuka suara, gadis itu merawatnya dan memberinya tempat untuk tinggal saat ia bisa mengabaikannya.
"senior pasti punya alasan tersendiri, begitupula aku."
Nathaniel Grey.
Senior Olivia saat masih di akademi, sejujurnya mereka tak benar-benar memiliki hubungan dekat, walaupun masih cukup untuk saling memanggil nama masing-masing. Olivia dan Nathaniel hanya bersama karena tergabung menjadi staf perpustakaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Black Rose's Room Number 507
AcciónOlivia Blair, seorang penulis novel misteri terkenal dengan nama pena 'black rose' pindah ke sebuah gedung apartemen tua di penghujung kota distrik 7. Entah sebuah keberanian atau kebodohan, gadis itu memilih tinggal di sisi kota yang dipenuhi kegel...