1: Yunanda Mahardika

2.4K 373 138
                                    

Sean membuka pintu rumah. Biasanya, ia akan menyapa semua orang. Namun kali ini, ia langsung melenggang naik ke kamarnya. Ibu dan kakaknya yang sedang mencuci piring di dapur menatap satu sama lain. Tidak seperti biasanya Sean seperti itu.

"Kak, coba adeknya diajak ngobrol," ucap sang ibu, Shinta, sambil mencuci piring.

"Dia cuma butuh waktu sendiri dulu, kali," balas Shera, kakaknya Sean.

"Kamu gak harus nyuruh dia cerita. Ibu yakin dia butuh banget tempat buat nangis."

"Ini piring gimana..." Shera mengangkat lap piring yang sedang ia pegang.

"Udah... itu biar ibu aja. Kamu naik aja, gih," ucap Shinta dengan tenang.

Shera meletakkan piring yang sedang ia pegang ke atas meja. Ia pun menaiki anak tangga. Pintu kamar Sean tertutup rapat. Shera sempat ragu untuk menghampirinya. Ia menarik napas sebelum mengetuk pintu kayu itu. "Dek," panggilnya. Setelah tiga kali mengetuk tidak ada balasan, Shera akhirnya langsung membuka pintunya. "Dek..." panggilnya.

Di dalam kamar, Sean tidak menoleh. Ia sedang duduk di lantai, menyender pada tempat tidurnya. Tangannya memegang sebuah figura foto. Lima orang di dalam foto itu tersenyum bahagia, tetapi orang yang memegang foto itu menangis sesugukkan.

Melihat Sean menangis, hati Shera ikut merasa sakit. Terakhir kali melihat adiknya menangis adalah dua belas tahun yang lalu. Tadinya, Shera mau melontarkan lelucon. Siapa tau leluconnya dapat mengembalikan mood Sean. Namun melihat tangisan adiknya yang tidak kunjung berhenti, Shera mengganti rencananya. "Mau pinjem bahu, gak?" Perntanyaannya tidak dibalas. Tanpa berkata apa-apa, Shera duduk di sebelah sang adik. Dengan lembut, ia menarik kepala Sean ke pundaknya dan mengelus-elus rambutnya. Sebesar apapun dan setua apapun Sean, ia tetap menjadi adik kecil bagi sang kakak. Getaran bahu Sean ikut menggetarkan hati Shera. Nyaris ia ikut menangis. Padahal ia tak tahu alasan adiknya menangis.

Mereka berdua tetap di posisi itu selama sepuluh menit. Tidak ada kata apa pun. Yang terdengar hanyalah isakan tangisan Sean. Setelah Sean merasa lega, ia mendorong dirinya menjauh. Ia menyeka matanya. Tiba-tiba ia tertawa lemah. "Maaf, Kak. Gara-gara aku, bajunya kakak jadi ikut basah kuyup," katanya. Ia baru sadar bahwa ia belum mengganti pakaiannya yang basah karena air hujan.

Shera tersenyum pasrah. "Ya udah, lah. Gampang. Tinggal ganti," jawabnya.

Sean meletakkan foto itu di atas meja kecil. "Aku udah lama gak nangis separah ini," katanya.

"Kenapa? Kamu sedih karena apa?" Tanya sang kakak. Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulutnya.

Senyum yang sempat ada di bibir Sean kembali memudar. Mengingat alasannya menangis membuat dirinya kembali sedih. Air matanya kembali mengalir.

Shera menghela napas. 'Nangis lagi si bocah,' batinnya. Ia lalu menepuk-nepuk bahu Sean. "Pelan-pelan aja," katanya. Ia tidak yakin apakah perbuatannya tepat untuk menenangkan seseorang.

Dada Sean terasa sesak. "Mikai... Mikai udah gak ada," jawabnya di tengah-tengah sesugukkannya.

Shera menutup mulutnya. Jawaban Sean membuat hatinya tercekat. Padahal, dulu Mikai suka bermain ke rumah mereka. Bagaimana bisa...

"Selain Mikai, kehidupan semua orang juga ancur," kata Sean dengan suara yang kembali bergetar. "Di-Dika gak bisa denger, terus Daniel ditangkep polisi. Biru... ngilang tiba-tiba." Tangisan Sean pecah sekali lagi.

Shera kembali merangkul adik besarnya. Otaknya tidak bisa mencerna. Mengapa semuanya terjadi berbarengan? Aneh sekali. "Kamu gak tau kenapa mereka bisa kayak gitu?"

Sean menggeleng. "Mereka ngumpetin itu semua dari aku. Gak tau sejak kapan. Gak tau udah sebanyak apa yang mereka umpetin."

Shera terus mengelus punggung Sean. Tak peduli jika bajunya ikutan basah. Ia diam sejenak. Bingung harus memberi solusi apa. Masalahnya, Sean adalah anak yang sangat kuat dan mandiri. Jarang sekali meminta bantuan keluarganya. Itulah alasannya Shera kaget melihat adiknya menangis. Kaget sekaligus sakit. "Kalau Daniel ditangkep dan Biru ngilang... kamu udah coba ketemu sama Dika?" Tanyanya.

Sang Pemutar Waktu - TXT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang